Negara menempati urutan ke 107 dari 177 negara di dunia berdasarkan penilaian atas kemajuan dan kualitas output dar setiap lembaga pendidikan tingkat atas untuk terjun ke era globalisasi pada setiap tahunnya(). Sangat mengejutkan memang kalau lita bandingkan kejayaan dunia pendidikan kita yang pernah merajai asean, betapa banyak dan antusiasnya negara-negara tetangga yang mengharapkan bantuan tenaga pengajar dari negeri kita dan berbondong-bondong memboyong ribuan guru dari seluruh Indonesia untuk dibawa ke Negara mereka masing-masing.
Karena kemashuran dan kualitas itulah bangsa kita menjadi central pendidikan asean. Akan tetapi itu beberapa decade telah terlewati dan kita bisa lihat kondisinya sekarang Negara kita berada diurutan terbawah dari Negara-negara di asia tenggara. Negara kita yang dulu termashur dimata negeri-negeri jiran kini menjadi alas dan tempat pembuangan bagi insinyur-insinyur gagal dari Negara mereka. Sangat menyedihkan memang melihat kondisi ini. Kebanggan terdahulu kini hanya menjadi kenangan manis dan romantisme masa lalu belaka. Hanya menjadi dongeng pengantar tidur si buyung.
Kita telah menyia-nyiakan kerja keras para pejuang pendidikan pendahulu kita. Kihadjar Dewantara, R.A Kartini, dan masih banyak lagi para pejuang yang telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalm dunia pendidikan dibawah baying-bayang penjajahan colonial.
Pendidikan Indonesia daimbang batas
Mungkin lebih tepatnya ini adalah fase kritis bagi dunia pendidikan kita sekarang ini. Wacana demokrasi sebagai faham yang dianggap pantas bagi negeri heterogen seperti Indonesia ini sudah merambah kesegala sector termasuk juga sector pendidikan yang menjai fondasi pembangunan bangsa. Selama ini wacana itu terus-menerus coba dikembangkan dalam setiap instansi dan lembaga pendidikan secara menyeluruh. Hal itu terbukti dari memberikan ruang seluas-luasnya bagi peserta didik untuk mengeluarkan pendapat dan dan argumentasi yang ilmiah berdasarkan rasionalitas. Meski masih banyah dibeberapa sekolah masih terdapat beberapa guru yang otoriter, dan selalu memaksakan kehendak kepada peserta didiknya. Karena kebodohan guru dalam pemahaman demaokrasi dan aplikasinya. Perlu dipahami betul bahwa mayoritas rakyat Indonesia masih prgaya dan mnjunjung tinggi tradisionalisme dan budaya mistisisme oleh feodal ortodoks. Artinya, dalam otak bangsa kita ini masih terkonstuk dengan kokoh doktrin-doktrin penindasan di zaman kerajaan dahulu agar tidak ada protes dan perlawanan dari rakyat pada saat itu, contonya seperti (urgo unut neroko katut, anom kudu nurut ing wong tuo, jawa) dan berakibat buruk sekali bagi penyelengaraan demokrasi di negeri ini.
Nasib guru dan murid
Segala dilemma memang sudah ada di depan mata kita dari berbagai kebijakan dari pihak lebaga pendidikan sebagai negasi dari konstitusi dari Negara. Setelah berbagai masalah dalam dunia pendidikan kita. Terlebih setelah pemerintah berencana untuk menjadikan semua lembaga pendidikan harus berbadan hukum. Yang tertuang dalam RUU BHP. Dan disitu kita akan melihat dengan jelas bahwa di negeri ini juga masih menganut faham feodalistik cultural yang kental dengan nuansa kasta dan seolah orang miskin diharamkan untuk bisa mengenyam pendidikan. Hal ini akibat dari faham pendidikan berbasis material yang diterapkan di barat. Manusia modern yang tidak punya pegangan akan semakin bunging dan berada dalam kebimbangan diliputi skeptisisme akut yang bisa berakibat penderitanya menjadi gila antara harus mengikuti budaya barat tetapi diskrimainatif atau tetap mempertahankan budaya asli yang kolot dan ketinggalan zaman.