Thursday, February 12, 2009

Hasrat (Hak dan Aspirasi Rakyat)

Hasrat: (Hak & Aspirasi yang tak Tersalurkan) Jelang pemilu 2009
Oleh : Royani Mahasiswa Tarbiyah Uin Syariefhidayatullah Jakarta semester VI

Indonesia mengenal faham demokrasi sudah sangat lama, bahkan sejak Indonesia belum memproklamirkan diri menjadi sebuah Negara yang merdeka. Sebagai Negara yang demokratis hal ini tercermin pada saat para walisongo (sembilan wali) selalu mengedepankan musyawarah dan mufakat dalam setiap membuat kebijakan dan sudah menjadi hukum alam di dalam musyawarah terdapat jajak pendapat, usulan-usulan, adu argument, dan interupsi yang dikemas dalam wadah aspirasi. Untuk mencari jalan keluar dari permasalahan yang kita hadapi bersama. Hal yang sama juga dilakukan oleh para founding father kita. Dengan jalan musyawarah dan kesepakatan bersamalah dibentuklah sebuah aturan-aturan yang kita sebut sekarang sebagai Udang-Undang sebagi sebuah konstitusi dan sumber hukum bagi bangsa indonesia.

Hak mengelurakan pendapat adalah hak asasi bagi setiap individu dan menjadi wajib hukumnya apabila kita berada di dalam sebuah forum demokrasi (Negara). Hak untuk bereksrpesi, beraspirasi, dan berorganisasi adalah amanah konstitusi apabila ada yang menghalang-halangi kita untuk berekspresi, beraspirasi dan berorganisasi maka itu adalah musuh Negara karena telah menyalahi undang-undang.
Akan tetapi kita harus tahu dan faham kaidah dan aturan yang berlaku dalam mengeluarkan pendapat. Apakah cara kita sudah benar dan tidak melanggar aturan dan tatib yang berlaku.

Peranan legislative (DPR/MPR)
Legislative dalam sebuah rezim yang demokratik adalah unsur kedua dalam Triaspolitica Aristotelian. Beberapa unsure harus benar-benar mempunyai susunan tugas dan kerja yang terperinci dan mendasar. Meskipun dalam sejarahnya belum pernah hal itu terjadi (max webber). Dan yang paling vital dalam triaspollitica adalah legislative karena dari jalur inilah komunikasi antara rakyat dan pemimpinnya bisa terjadi. Legislative yang dianggap sebagai representative dari rakyat tetap saja hal itu masih menjadi dongeng belaka. Satu hal yang harus diperhatikan adalah akuntabilitas dan loyalitas kepada ngara dan rakyat atas jabatan yang diembannya. Meskipun kita hanya bisa menerima atas semua kebijakan yang mereka keuarkan, akan tetapi ini bukan berarti kita tidak bias menolaknya. Sebagai bentuk penolakan atas kebijakan tersebut banyak yang diimplementasikan dengan aksi-aksi penolakan BBM, konfersi minyak ke gas, dan pembatalan pengesahan UUBHP, serta banyak lagi bentuk-bentuk penolakan rakyat terhadap kebijakan yang meninidas. Sebagai sebuah institusi yang sangat dihormati dan sangat vital perananannya bagi Negara tentunya dapat lebih aspiratif dan selalu mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan sendiri maupun golongan. Dan aksi-aksi penolakkanpun tidak akan terjadi. Aksi-aksi yang dilakukan selama ini adalh sebagai bentuk kekecewaan tehadap wakil rakyat yang dinilai tidak aspiratif terhadap keinginan rakyat.
Hal yang terjadi terkadang malah kontradiktif. Selain itu kreatifitas yang kurang membuat para para pejabat tidak bisa mengentaskan madalah rakyat yang sedang terjadi, yang meraka lakukan hanya menjalankan tugas dan atau merealisasikan ransangan tugas dari pejabat terdahulu saja. Sedang kita tidak tahu apakah itu realisasi dari kebijakan yang populis atau malah itu menjadi bentuk penindasan baru dari pejabat yang baru.

Peranan mahasiswa

Mahasiswa yang selalu mengaku Agent of Change atau Agen Of Social Control selalu kena getahnya, sebagai contoh kecil ada teman saya yang takut pulang ke rumahnya karena selalu ditanya oleh masyarakat sekitarnya kenapa samapai saat ini belum ada perubahan ekonomi. Bagaimana tidak jika setiap kali mereka aksi (demonstrasi) selalu dianggap angin lalu bagi pemerintah dan selalu saja di benturkan dengan para parat yang tidak segan-segan melakukan tindakan represif atas instruksi dari para pejabat dan para pemimpin rezim (hajar semua aral membela yang bayar). Aksi-aksi yang dilakukan selalu saja antiklimaks dan yang terjadi mereka harus menerima luka lebam akibat bentrok dengan aparat bahkan ada yang sampai mendekam di penjara karena dianggap sebagai profokator. Sungguh sebuah tindakan pelanggaran terhadap konstitusi.
Sudah jatuh tertimpa tangga itulah yang dialami para mahasiswa sekarang mereka disalahkan oleh rakyat, tetapi juga dibungkam oleh pemerintah. Selama ini aksi-aksi yang mewarnai di daerah-daerah dan di kota-kota yang sering kita temui di surat kabar dan media informasi lainnya hanya aksi yang bersifat sinergis bukan kritikan atau penolakkan terhadap kebijakkan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat.

Rakyat
Dan yang paling parah menanggung semua akibat ini adalah rakyat. Rakyat kecil di desa-desa semakin kesulitan, bahkan ada yang kelaparan, busung lapar, serta harus memakan nasi aking. Para pengusaha juga terkena imbasnya karena krisis global yang melanda negeri bebrapa waktu yang lalu sehingga banyak pabrik-pabrik yang harus gulung tikar. Akankah semua ini akan berakhir setelah pemilu 2009 ataukah semakin bertambah parah. Semua itu tergantung dari kita semua. Namun bagi bangsa kita dewasa ini pemahaman demokrasi hanya sebatas prosedural tanpa memahami lebih dalam arti dari demokrasi yang sesungguhnya. Yang mereka tahu hanyalah di negara demokrasi akan ada pemilu untuk mencari pemimpin dan yang memilihnya adalah rakyat dan jika ingin berkuasa di negeri ini maka kita harus pandai-pandai mencuri simpati rakyat. Tanpa disadari pengetahuannya hanya sebatas kemampuan seorang anak SD yang baru mendapatkan pelajaran PPKN dari gurunya. Asalkan bisa dipilih dan dan menang dipemilu mereka bisa berkuasa dan mendapatkan tahta di negeri ini. Inilah yang mendorong menjamurnya para calon-calon legislatif dan pemimpin negeri ini, padahal jika kita tanyai kemampuan apa yang dimilikinya jawabannya hanya kosong belaka. Tanpa ada basic kepemimpinan yang teruji serta kematangan berfikir dan wawasan luas saja tidak menjadi prasyarat pokok seseorang mencalonkan diri, program-program yang akan dilaksanakan, serta amanah saja belum bisa mengangkat bangsa kita dari keterpurukan apalagi hanya dengan modal nekat dan uang saja mereka sudah berlomba-lomba membentangkan spanduk dan iklan agar rakyat memilihnya.
Apakah kita masih percaya kepada elite politik seperti mereka atau akankah muncul Satrio Piningit (bukan aliran sesat di pasar minggu) atau pahlawan yang akan mengangkat bangsa kita dari keterpurukan semua itu hanya waktu yang akan menjawabnya dan jawabannya setelah pemilu 2009.

Musim Baru Di Indonesia



Jika anda ditanya oleh teman anda dari luar negeri yang berkunjung ke indonesia. Ada berapa musim di Indonesia? Maka anda harus menjawab ada tiga yakni kekeringan (kemarau), banjir (penghujan) dan yang paling lama masanya adalah musim kampanye. Bagi masyarakat indonesia yang tergolong masyarakar agraris musim Kemarau adalah saat yang tepat bagi para petani untuk menanam tanaman palawija, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Dan untuk sebagaian masyarakat maritis ini adalah waktu yang tepat untuk melaut, ikan-ikan berada dalam koloni besar dan semakin mudah untuk ditangkap sehingga bisa menaikan penghasilan mereka. Musim penghujan adalah masa tanam bagi para petani yang biasanya ditandai dengan jatuhnya tahun baru cina imlek karena sawah-sawah akan menampung banyak air sehingga bisa untuk menanam padi. Dan untuk masyarakat pantai ini adalah masa krisis karena kegiatan melaut mereka akan terganggu selain karena hujan disertai badai yang membuat pandangan kabur apalagi dengan hanya mengandalkan perahu atau kapal sederhana karena banyak nelayan yang hilang atau perahu mereka ternggelam karena tertabrak oleh kapal tongkang atau terhempas badai yang datang. Musim hujan yang disambut dengan suka cita oleh kebanyakan orang tionghoa karena akan banyak pula rejeki yang datang jika turun hujan pda waktu imlek akan tetapi di sisi lain hal ini sekaligus sebagai pertanda buruk.
Efek prtambahan suhu bumi serta perubahan iklim atau yang biasa disebut dengan istilah global warming memang menimbulkan efek domino khususnya di indonesia. Pertama adalah dari segi ekonomi. Para pertani sekarang susah untuk bercocok tanam selain karena sawah ladang yang kian menyempit digantikan bangunan entah milik siapa juga karena semakin susahnya memprediksi datangnya musim penghujan atau musim kemarau yang tiba-tiba datang, dalam satu daerah dilanda banjir akan tetapi di daerah lain para petani tidak meladang karena lahannya kekeringan dan gagal panen karena pada saat menjelang panen musim hujan keburu datang, bakalan semakin banyak rakyat yang kelaparan nih jika pemerintah tidak melakukan tindakan antisipatif.(ngareeep)
Dari segi social banyak anak-anak dan balita yang menderita kekurangan gizi, busung lapar, dan kelaparan karena orang tua mereka tidak bisa bertani dan bercocok tanam. Dan yang paling menarik sekaligus memprihatinkan adalah dalam segi politik. Muncul musim baru yang disebut dengan musim kampanye. Bahkan waktu datangnya pun terkadang lebih cepat dari yang seharusnya. Hal yang sangat memusingkan para peneliti di BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika) dan para petugas KPU (Komisi Pemilihan Umum) serta panwaslu (dua diantara yang saya sebutkan tadi memang sengaja membiarkan hal itu terjadi) ini menjadi catatan besar pada sikap kedewasaan dan kesadaran politik rakyat Indonesia. Pemahaman kita masih pada tataran Politik Macheavelian atau menganggap politik sebagai kepentingan dan untuk itu setiap orang rela melakukan apapun demi kepentingannya bisa tercapai. Dan untuk itu mereka menghalalkan segala cara tanpa menghiraukan aturan dan tatib yang berlaku. Hal ini banyak terjadi di seluruh indonesia bukan hanya di daerah daja di ibu kota hal ini hampir dianggap lumrah. Kita sampai tidak bisa lagi melihat birunya langit dan merasakan hangatnya sinar mentari di pagi hari karena (selain tertutup oleh gedung-gedung tinggi menjulang) terhalangi oleh spanduk para caleg-capres yang dibentangkan menutupi birunya langit.
Bangsa indonesia yang mengaku sebagai bangsa yang demokratis baru bisa memahami demokrasi secara prosedural saja yang hanya terpaku pada prosedur dan proses yang ada dalam demokrasi itu sendiri tanpa mengetahui dan faham apa sebenarnya makna demokrasi yang sesungguhnya. Nilai-nilai demokrasi yang sangat menjunjung nilai-nilai manusiawi dan hak asasi ini harus tercoreng oleh tindakan bodoh yang reaksioner, fragmatis serta lebay akibat pemahaman kita yang masih cetek. Jika hal ini terus dibiarkan yang terjadi bukan terciptanya negara demokratis akan tetapi cheaos serta keterpurukan dan antiklimaks yang akan merugikan bangsa kita.(che)



Bookmark and Share