Wednesday, April 15, 2009

ISLAM, PEMILU DAN KEBOSANAN POLITIK

Dalam ajaran Islam, tidak dikenal kata demokrasi. Namun, jika yang ditunjuk dari pengertian demokrasi adalah dialog dan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan persamaan hak. Maka, ajaran Islam memang mengenal dan mengajarkan kepada pemeluknya dengan istilah musyawarah dan al-Mabadi’ al-Khamsah (lima prinsip dasar hukum Islam) dan banyak lagi dasar hukum lainnya. Lima prinsip dasar yang dirumuskan para ahli yurispridensi hukum Islam itu meliputi pemeliharaan dan penjagaan atas keyakinan agama (hifdz al-din), jiwa seseorang (hifdz al-nafs), akal (hifdz al-aql), kehormatan dan keturunan (hifdz al-‘Irdl wa nasl), harta (hifdz al-mal),. Dengan demikian, demokrasi dalam pengertian di atas dapat diterima sebagai bagian dari ajaran Islam meski terungkap dalam istilah/ungkapan Yunani (demos dan kratos). Yang kemudian diterjemahkan oleh George Washington, Presiden AS pertama sebagai pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.

Namun, bilamana istilah demokrasi ditujukan artinya atau diukur sebatas Pemilu, maka, penulis mengingatkan bahwa ajaran Islam tidak pernah mengenal kata Pemilu (Pemilihan Umum) sebagai proses yang tetap dan tunggal dalam sejarah pemilihan pemimpinnya. Dalam sejarah Islam, tidak ada prosedur tetap untuk menentukan dan memilih pemimpin. Pemimpin tertinggi umat Islam, yakni Nabi dan Rasul, terutama Pemimpin para Nabi dan Rasul, Nabi Muhammad SAW terpilih oleh legitimasi wahyu. Sehingga beliau digelari, al-Mustofa (manusia pilihan Tuhan).

Dalam satu tulisannya, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menerangkan bahwa pengganti Nabi Muhammad SAW, yakni Khalifah Abu Bakar Siddiq, RA terpilih oleh kesepakatan kaum Muslimin, Khalifah Umar atas penunjukan Khalifah Abu Bakar Siddiq RA. Jika di era modern, dapat diumpamakan seperti penunjukan Presiden kepada Wakil Presiden. Di akhir hayatnya, Khalifah ‘Umar RA meminta dibentuk sebuah dewan pemilih (ahlul halli wal ‘aqdi), yang beranggotakan tujuh orang untuk memilih pengganti beliau. Lalu, bersepakatlah mereka untuk mengangkat Utsman Bin Affan RA, sebagai Kepala Negara / Pemerintahan. Selanjutnya Utsman RA digantikan oleh Ali Bin Abi Thalib RA. Pada saat itu, Abu Sufyan, tengah mempersiapkan anak cucunya, untuk mengisi jabatan di atas.

Keteladanan Nabi Muhammad SAW
Dari keterangan di atas, jelas bahwa kepemimpinan Islam tidak mengenal prosedur yang tetap. Bahkan, jika dicermati dari dari kepemimpinan tertinggi Islam, yakni Nabi Muhammad SAW, maka semakin terang pula bahwa kepemimpinan beliau yang mulia, didasari oleh wahyu (berita yang benar) dari Allah SWT (al-Qur’an-Hadis), tidak terikat waktu (misalnya, lima-sepuluh tahun memimpin) dan tidak pula tempat (diutus untuk seluruh manusia, bukan wilayah tertentu saja seperti Arab), dan berdimensi seumur hidup (sepanjang masa) dalam menjalankan tugas kenabian dan kerasulannya.

Meski demikian, Beliau SAW berhasil meraih pengikut setia belasan juta manusia hingga kini di seluruh dunia. Meski, tidak sedikit pula yang memusuhinya, memeranginya, menghinanya, mencacinya, mencercanya, menimpuknya hingga berdarah-darah, dan melakukan percobaan pembunuhan terhadapnya. Michael H. Hart, dalam bukunya, 100 Orang Terpopuler Di Dunia, meletakkan Rasulullah Muhammad SAW di peringkat pertama. Ini, tak lain, karena kepribadiannya yang memiliki keluhuran dan kemuliaan etika (akhlak karimah) dalam kehidupan sehari-harinya dan membawa rahmat bagi manusia dan alam semesta. Inilah prototipe ideal dan teladan (uswah hasanah) bagi para calon pemimpin bangsa dari kaum muslimin.

9 April 2009, bangsa Indonesia baru saja melakukan Pemilu Legislatif. Dan beberapa bulan ke depan, akan dilanjutkan dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden periode 2009-2015. Di tangan siapa, kepemimpinan negara ini dipegang, akan menentukan nasib bangsa di masa sekarang dan masa yang akan datang, setidaknya lima tahun ke depan. Apakah para pemimpin itu telah siap lahir batin membawa bangsa ke arah yang lebih baik?.

Caleg setengah hati
Terlepas dari jawaban di atas. Waktu yang akan menjawabnya. Namun, ada budaya politik yang masih dilestarikan oleh para elit politik kita dan calon pemimpin kita. Yakni, pertama, soal kesediaan pengorbanan baik moril maupun materiil yang terikat oleh waktu menginginkan jabatan atau jabatan saja. Yakni, ketika ingin meraih jabatan dan posisi saja. Di mana, penulis sendiri banyak temukan di lapangan, para calon anggota legislatif (Caleg) yang hanya berani mengeluarkan ongkos yang banyak untuk kampanyenya. Usai Pemilu, mereka tidak lagi aktif dalam perjuangan politik-kebangsaan. Seolah-olah perjuangan politiknya terikat jabatan. Usai tidak mendapatkan jabatan atau habis masa jabatannya, para caleg tidak lagi bersedia atau rela berjuang untuk rakyat atau mengorbankan materinya.

Dengan demikian, bisa jadi benar anggapan/tuduhan masyarakat bahwa banyak caleg hanya bertujuan mencari jabatan saja (kepentingan pribadi) dalam Pemilu dan bukan menjadikannya alat perjuangan bagi kesejahteraan rakyat dan kepentingan bangsa. Budaya ini amat disayangkan, mengingat tingkat partisipasi politik yang tinggi (dengan bukti keberanian para caleg memajukan diri minta dipilih dan mengeluarkan ongkos yang besar) semacam ini tidak diteruskan oleh perjuangan jangka panjang untuk membuktikan kemurnian dan ketulusan niatnya mengeluarkan ongkos besar semuanya untuk kepentingan bangsa dan bukan kepentingan pribadi. Banyak caleg yang semangat sebelum Pemilu namun menyerah berjuang setelah mengalami kekalahan, atau anggota dewan yang tidak lagi berjuang minimal secara moril setelah habis masa jabatannya.

Kebosanan Politik Prosedural
Kedua, soal kenyataan dominasi politik prosedural. Kenyataan yang membahayakan bagi masa depan bangsa. Jika politik yang berjalan, adalah dominasi politik prosedural (seperti Pemilu, pembuatan aturan, dll.) dan kurang jelas soal substansi politik dan orientasi kepemimpinannya yakni kesejahteraan dan kemaslahatan rakyat dan tidak terlaksananya aturan-aturan tersebut. Kenyataan itu dibuktikan dari sekian kali terjadi sirkulasi kepemimpinan pascareformasi, belum juga kunjung terjadi perubahan yang berarti bagi bangsa. Artinya, kepemimpinan yang ada belum mampu memberikan yang terbaik bagi rakyat yakni kesejahteraan lahir batin. Presiden berganti, namun keadaan tetap belum berubah. Bila melihat para calon dan bakal calon Presiden, maka yang tampak adalah wajah-wajah lama. Seperti Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla, Megawati Soekarno Putri, Prabowo, Wiranto, dll. Mereka telah diberi kesempatan memimpin bangsa dalam bidangnya masing-masing, namun kurang jelas hasil dan perubahan dari kepemimpinannya setidaknya dalam pandangan pribadi penulis.

Jika hasil Pemilu 2009, tidak juga berarti apa-apa bagi kemaslahatan rakyat, maka inilah yang disebut penulis di atas sebagai kebosanan politik. Rakyat di masa depan akan dan bahkan sejak sekarang telah bosan melihat perpolitikan Indonesia lebih banyak gonta-ganti pemimpin (politik prosedural) dibanding mengganti keadaan rakyat ke arah yang lebih baik (politik substansial). Menurut penulis, rakyat kini merindukan pemimpin baru dengan peradaban baru !. ***