Saturday, May 30, 2009

Politik Dan Agama


Islam :Politik dan Agama Ini adalah sebuah jawaban dari pertanyaan saya milihat kondisi rill politikkita saat ini. Entah darimana datangnya pertanyaan ini datangbegitu saja dalam benak saya.Dan secara kebetulan saya bertemu dengan seorang Dosen yang concern dengan politik kita saat ini. langsung saja saya tanyakan pertanyaan ini kepada beliau. Berikut adalah jawaban yang saya dapat dari beliau dan karena saya fikir ini penting diketahui oleh semua orang jadi saya rasa ini akan bermanfaat dan semoga beliau tidak keberatan jika catatan berharga ini saya posting dan sebarkan di blog ini.

Politik dan Agama

Beberapa hari yang lalu, seorang mahasiswa saya bertanya tentang korelasi agama dan politik. Berikut ini jawabannya: Pada dasarnya sumber2 syara membhs segala aspek khdpn termsk politik, tdk heran para ulama salaf dan kholaf byk yg menulis 'Assyiasyah fil islam'. Generasi terbaik, yaitu para shahabat telah jg mewarisk etika berpolitik termsk macam2 cara pemikha (pemilihan khalifah). Jadi politik dan islam ada kaitannya, dan secara tradisi terus dipelihara....

Berpolitik secara islam berarti menyusun aneka strategi agar semua umat sadar+ridha+ikhlas berjln dibawah syariat dan strategi2 untuk mensejahterakan rakyat -karena islam rahmatan lìl alamin- itu semua dalam kerangka ideal.


Nah, kita skrg bicara fakta pada saat ini. Yg terjadi bkn berpolitik secara Islami tetapi memanfaatkan islam untuk tujuan politik. Jadi yg terjadi kini bkn islamisasi politik tetapi politiksasi islam. Akibatnya apa?islam menjadi komoditas politik yg laku dijual. Isu2 islam jadi komoditas politik. Mis. Isu jujur, bersih, jilbab, syariat, santun, jengot, kekhusuan doa/ibdh shalat seseorang dll... Mengapa fakta tsb bs menjangkiti partai termsk partai islam? karena ketika mereka menjadi pemain politik ada bahaya tobaqot/libido kkuasaan. Bahaya tobaqot ini jika dibiarkan dan tdk dikontrol...akan menyebabkan penghalalan segala cara u/ meraih kekuasaan. Mengorbankan islam, keislaman, dan umat islam....akan digunakan. Fakta politisir agama untuk tujuan politik, itulah yang kemudian menjadikan orang berpikir, "sudah tak perlu membawa agama dalam wilayah politik" karena agama itu terlalu suci untuk dipolitisir. Fakta itu membuat "sekulerisasi politik dan agama" jargon-jargon pun muncul seperti "partai yes islam no".

Tetapi fakta sosial yang terjadi sebetulnya tidak layak dijadikan sebagai sumber keputusan. Seharusnya fakta sosial yang terjadi digiring pada sebuah situasi yang mendekati ideal. Jika semuanya mengikuti fakta sosial yang ada, maka garis beda antara benar dan salah akan makin kabur.....dan semua akan mengikuti libido manusia....padahal libido manusia pada 3Ta: harta (kekayaan), Tahta (kekuasaan) dan wanita (kegemerlapan & syahwat) butuh pengendalian tidak bisa dibebaskan. Pengendali libido manusia itu dalam islam disebut sebagai hukum syara. Oleh karena itu berpolitik pun harus dimasukkan dalam kerangka hukum syara. Dalam islam syara banyak mengatur tentang politik (aneka strategi):

  1. Pemilihan kepala negara: mulai kriteria, keabsahannya, dan mekanismenya.
  2. Pengelolaan SDA: apa yang menjadi kepemilikan umum dan pribadi, bagaimana penggunaan dan distribusi kepemilikan umum.
  3. Hubungan luar negeri.
  4. Kemanan dalam negeri
  5. ..... dll


Jika kita beriman bahwa Alloh swt adalah khaliq wa mudabir (Pencipta dan Pengatur), maka kita tentu akan mau tunduk pada ATURAN yang telah dibuat Alloh swt yang bisa dibaca dan dihayati dalam Al Qur'an dan dipraktekan oleh Rasulullah yang prakteknya bisa dibaca di banyak hadits....dan terus dipelihara oleh para shahabat..... bagaimana syara mengatur perpolitikan, itulah yang harus menjadi kajian semua muslim yang akan terjun ke dunia politik, sehingga ia akan tetap berjalan di garis ideal yang diperintahkan syara dan tidak terjebak pada bahaya2 tobaqot. Wallohualam bisawab.

Tuesday, May 26, 2009

Persatuan dalam Perbedaan

Allah SWT berfirman dalam Surah Ali Imran (103) :

Dan berpegang teguhlah kalian dengan tali (agama) Allah, secara keseluruhan, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hati-hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni’mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya, agar kamu mendapat petunjuk".


Khitab (objek perintah dan khabar) dari ayat di atas, menurut mufassir Imam Jalaluddin As-Suyuthi (849-911 H) adalah suku Aus dan Khazraj. Kedua suku ini di era Jahiliyah (sebelum kedatangan Islam), terkenal sebagai suku yang suka bermusuhan dan berperang. Hampir saja, mereka mati dalam kekufuran akibat gemar berperang dan bermusuhan ini.

Untungnya, ajaran Islam datang. Nabi Muhammad SAW dengan kekuatan spirit ajaran Islam yang dibawanya berhasil menjadi sabab dan wasilah Allah SWT mempersatukan dan mempersaudarakan mereka. Terhindarlah mereka dari tepi api neraka dan mereguk air nikmat persaudaraan atas dasar Islam di samping persaudaraan atas dasar kesamaan wilayah teritorial (arab).

Khitob ayat di atas memang turun untuk mengomentari dan menyikapi kebudayaan suku Aus dan Khazraj yang hidup di era Jahiliyah. Namun, jika ditarik pada konteks yang lebih umum dan luas pada kenyataan kaum Muslimin saat ini, maka kita akan temukan model Aus-Aus baru dan Khazraj-Khazraj baru di era modern saat ini. Apalagi dalam konteks kaum Muslimin di Indonesia yang terdiri dari berbagai macam dan beragam suku yang berbeda-beda, maka bahaya perpecahan, permusuhan, pertentangan juga mengancam.

Bahaya itu bukan hanya mengancam. Di sebagian daerah di Indonesia, telah nyata terjadi perang antar-suku dan ras. Meski latar belakang agama mereka Islam, nampaknya persaudaraan se-agama (ukhuwah Islamiyah) tersebut, kurang nyata dan memberi ta’tsir (bekas) dalam pergaulan sosial mereka.

Jika suku menunjuk pada pengertian kedaerahan, wilayah dan ras di mana seseorang hidup dan bertempat tinggal, maka kenyataan perbedaan kaum Muslimin tak hanya itu. Melainkan perbedaan pendapat / pandangan / aliran keagamaan (terutama pendapat / pandangan / aliran tokohnya), organisasi yang digelutinya, kedudukan sosialnya (kaya-miskin), pilihan politiknya, klub olahraga kesayangannya dan lain-lain amat potensial menjadi sumber perpecahan dan “perang saudara”, yang mengancam persatuan dan kesatuan kaum muslimin Indonesia.

Menolak dan mengingkari perbedaan, bukanlah jalan keluar. Menolak perbedaan sama saja memaksakan keinginan mengadakan satu shalat Jama’ah dengan membangun satu Masjid untuk satu bangsa dan negara saja dan membubarkan atas nama persatuan umat Islam, penyelenggaraan shalat Jama’ah di Masjid-Masjid / mushalla-mushalla kecil yang ada di daerah-daerah dan perkampungan kaum muslimin.

Membuka ruang dialog seluas-luasnya (bersikap terbuka) di tengah-tengah kaum muslimin yang berbeda-beda dan berbagai macam karakter itu, baik latar belakang suku dan rasnya, aliran keagamaannya, tokoh (elit) kesayangannya, kedudukan sosial-ekonominya, pilihan politiknya, hobby dan gaya hidupnya, klub olahraga kesayangannya, dll. tampaknya, jalan keluar terbaik yang harus terus dicoba untuk memperkuat dan mengembangkan sentimen persatuan dan persaudaraan se-agama (ukhuwah Islamiyah) dan se-aqidah dalam perbedaan-perbedaan non aqidah. Sehingga lahirlah “suku Aus dan Khazraj baru” yang berbeda dengan era sebelum datangnya Islam (jahiliyah). Bukankah persatuan dan persaudaraan kaum muslimin yang mayoritas ini akan memberikan ta’tsir (bekas) yang baik bagi moralitas kehidupan bangsa Indonesia?. Amiin ya rabbal alamiin.

Kampus : Pabrik Intelektualisme-Aktivisme, Aktivisme-Intelektualisme

Kesempatan mencicipi dunia kampus adalah anugerah Tuhan yang begitu besar. Di tengah himpitan ekonomi yang melanda mayoritas bangsa, maka ada baiknya kesempatan itu difikir ulang untuk ditarik kesimpulan berharga dan bermanfaat bagi siapa saja yang ingin mengawali intelektualisme-aktivisme dari pergerakan kampus-isme. Kampus-isme adalah faham yang menyatakan bahwa tradisi intelektualisme kampus memainkan peranan penting dalam pergaulan hidup. Pandangan ini mencoba menjawab kritik bahwa kampus adalah menara gading yang makin menjauh dari realisme-empirik.

Inilah idealisme di atas idealisme anti-kampus-isme. Yang seolah menafikan urgensi dan signifikansi perkuliahan sebagai proses transformasi kesadaran intelektual untuk kehidupan yang bermanfaat di kemudian hari. Jarang masyarakat di bangsa ini yang dapat merasakan pendidikan di perguruan tinggi. Jarang menyandang status Mahasiswa. Status yang menandakan kelebihan di atas siswa biasa. Baik intelektualisme maupun aktivismenya.

Menjadi mahasiswa berarti menjadi seorang intelektual. Menjadi intelektual berarti menjadi seorang aktivis. Seminim-minimnya aktivisme, adalah intelektual (berfikir dan berbicara) dan semaksimal-maksimalnya, adalah bergerak secara emosional merebut, menggunakan dan melawan kekuasaan.

Kampus : Pabrik Intelektual-Aktivis, Aktivis-Intelektual

Bagaimana kampus dapat memproduksi intelektual-aktivis, dan aktivis intelektual? Bergantung bukan pada kampus itu sendiri. Melainkan mahasiswanya. Sebab, pendidikan kampus adalah pendidikan otonomisasi dan fasilitasi. Kampus bukanlah guru, melainkan sarana dimana pertukaran intelektual, dialog bebas terbuka dosen-mahasiswa berlangsung secara kritis. Kampus adalah tempat membaca buku-buku, mempelajari teori-teori, mendiskusikannya dengan berbagai civitas akademika, dan pada titik terakhir adalah mengujinya di wilayah empirik. Inilah tuntutan bagi semua civitas akademika, bagaimana menyinari kampus dengan teori-teori tersebut. Menghidupkan kampus dengan tradisi berfikir bebas-bertanggungjawab.

Re-thingking soal Ijazah dan Gelar Akademik sebagai Kampus-isme

Ijazah adalah kehormatan dan penghargaan yang selayaknya diberikan kepada mereka yang telah berhasil menjadi mahasiswa sejati. Mahasiswa sejati adalah mahasiswa yang telah membuktikan kapasitas dan kecakapan intelektualnya dan termanfaatkan di ruang public. Merekalah yang seharusnya mendapatkan ijazah. Bukan mereka yang ingin mencari uang dari ijazah (gelar) itu. Bukan mereka yang ingin diterima dan bisa hidup oleh dunia modern. Karena mahasiswa sejati, justru membalik diri bahwa dunia modern lah yang mau tak mau harus menerima mereka karena otentisitas, keutuhan dan kesejatiannya. Mahasiswa tak butuh ijazah dan gelar. Namun, gelar dan ijazah itulah yang harus menjemput mereka, mendekati mereka, memberi mereka. Ia tak minta diakui. Yang diakuinya hanyalah perjuangan terhadap kebenaran intelektual-aktivis. Bagaimana ia butuh kepada pabrik intelektual-aktivis, sementara dirinya sendiri sudah merupakan pabrik.

Dengan paradigma ini, upaya melanjutkan kuliah tak ada kaitannya dan bergantung dengan soal wisuda atau tidak, lulus atau tidak, bisa atau tidak. Tidak seperti itu melihatnya, melainkan dari pandangan bahwa kebenaran harus dicari sampai ketemu. Bahwa hakikat mahasiswa harus diraih, itulah motivatornya. Sehingga, kesejatian tidak tunduk oleh kata sarjana, kata wisuda, kata gelar dan kata-kata lain yang kosong. Disinilah peran kesejatian, mengisi dan mewarnai kata-kata kosong itu lebih berarti dan bermakna.

Dalam satu tulisan, Romo YB Mangun Wijaya mengatakan : “Percuma punya ribuan alumni cerdas, sementara massa rakyat dibiarkan bodoh dan tertindas, dengan segera alumni cerdas itu akan menjadi penindas baru dengan modal kecerdasannya”.

Satu kritik keras, kepada para sarjana, wisudawan, yang tak melanjutkan klaim intelektualnya ke wilayah empirisisme (pembuktian). Bukankah mereka sudah disiram oleh lagu-lagu nasionalisme (padamu negeri), pengabdian kebangsaan, dan sumpah prasetya sarjana saat wisuda. Bukankah sumpah itu tak main-main. Kalau hanya untuk formalitas, mengapa mau mereka bersumpah dengan sumpah itu, bukankah mereka dengan kelulusan intelektualitasnya dapat mengkritisi sumpah prasetya sarjana itu bilamana mereka tak kuasa menjalankannya. Siapa yang akan mempertanyakan sumpah / janji mereka itu? Bukankah janji itu utang. Problem realitas-empirik, adalah utang kaum intelektual yang harus dibayar dan akan ditagih terus menerus oleh mereka yang disebut-sebut dalam isi prasetyanya itu. Bangsa, agama, Negara, dst. Setidaknya pada taraf minimal dan dan level mikro mereka harus mengatasinya. Untuk mencicil pelunasan dan pembayaran utang tersebut.

Karena itu hakikat kampus tidak satu arti dan pemahaman melainkan banyak : pertama, kampus tempat mencari gelar dan sarjana untuk mencari penghidupan yang layak, kedua, kampus tempat agar bisa diterima dalam kehidupan modern, ketiga, kepatuhan terhadap kaderisasi birokrat-teknokratis yang digawangi oleh industri besar sehingga kampus menjadi perpanjangan kepentingan mereka saja, keempat, tempat belajar, membaca buku-buku, kajian, berdialog, berdiskusi, bertukar pikiran, gerakan dan tindakan, berdebat, berbantah-bantahan secara benar, untuk menjawab tantangan kekinian dan ke-masadepan-an. Pandangan ini dapat diadu dengan pandangan kaum birokrat-formalis sendiri. Sehingga muncul sintesa baru dalam meletakkan kembali peran kampus dalam pergaulan hidup.

Penulis memilih hakikat yang keempat. Dan akan terus memperjuangkan hal ini meskipun di sekeliling penulis, banyak jebakan dan perangkap “hakikat-hakikat” yang lain. Jebakan gelar, ijazah, sarjana, materi ekonomi, institusionalisasi, birokratisasi, teknokrasi, modernitas, yang potensial menjerumuskan kepada arogansi intelektual dan menjatuhkan kebenaran pada lubang terdalam dalam kehidupan.

Menjadi Intelektualism-Aktivism, Tak Harus Anti-Kuliah
Dengan pola pikir, seperti itu, maka kampus / perkuliahan seharusnya bukan penghambat. Melainkan tantangan? Pertanyaan? Ujian kepada kebenaran intelektualisme –aktivisme kita. Gelar akademik, ijazah, nilai-nilai formal, prosedur birokratik, kaderisasi birokratik, institusionalisasi teori-teori, bukanlah penghambat pada kemajuan mereka yang ingin meraih identitas kesejatian intelektual dalam kemahasiswaannya. Mereka yang ingin lunas memenuhi tuntutan dan permintaan menjadi the real student.

Disinilah asas kemandirian sebagaimana di sebut di awal berlaku dan menemukan signifikansinya. Mahasiswa mana yang tidak berhasil memandirikan dirinya, meng-otonom-isasi dirinya, meng-utuhkan dirinya, mem-personal-kan dirinya, memerdekakan fikiran dan tindakannya, maka ia bagaikan anjing yang berkalung gelar akademik, berpakaian toga, nilai-nilai formal, teori-teori buku, institusionalisme. Penulis menyebut “bagaikan”, sebab, ia bukanlah “anjing” sungguhan. Melainkan, setengah manusia. Akhirnya, makhluk yang merdekalah yang layak berkalung itu. Merebut kesejatian kemerdekaan diri, bukan hal mudah. Namun, harus dilanjutkan dan didiskusikan terus-menerus, bukan? Hingga tiba saatnya kemerdekaan sesungguh-sungguhnya ada di tangan dan fikiran kita?. Amiin.(Darul Qutni)