Tuesday, August 11, 2009

Rebel Music, Musik Pemberontakan


Rebel Music! Musik Pemberontak !
Demikian yang kerap terjadi dengan lagu-lagu Bob Marley yang berbahasa Inggris dalam gaya bahasa dan dialek Jamaica atau Rasta. Bagi yang baru mendengarnya, musik Reggae Bob sering dianggap musik kelas bawah yang tidak berkelas, layaknya musik dangdut di Indonesia. Bukan itu saja, pribadi Bob Marley sendiri sebagai pemusik sering disinisi sebagai “peracau” yang cuma bermimpi dibuai asap mariyuana. Kenyataannya, saat ini tercatat lebih dari 300 juta keping rekaman Bob Marley digandakan di seluruh dunia, tidak termasuk versi bajakannya. Harian New York Times menilai Bob Marley sebagai musisi paling berpengaruh sepanjang paruh kedua abad ke-20. Lagunya One Love dipilih sebagai Anthem of Millennium oleh radio BBC Inggris. Majalah Time menobatkan Exodus sebagai Album Terbaik Abad ke-20. Dan catatan dari Presiden Amnesty International, Jack Keley, bahwa kemana pun ia pergi ke seluruh dunia, Bob Marley selalu menjadi simbol kebebasan! Dan lagu Get Up Stand Up, selolah identik dengan Amnesty International dan perjuangan kemanusiaan lainnya.

Siapakah sesungguhnya Bob Marley?Awalnya adalah Ska Debut Bob dimulai bersamaan dengan demam musik anak-anak muda seusianya seiring dengan eforia kemerdekaan Jamaica,
sebuah negara pulau di Laut Karibia (bagian tengah benua Amerika), dari penjajahan Inggris pada tahun 1962. Di tahun itu Bob pertama kali merekam suaranya dalam lagu berjudul Judge Not. Ditahun itu pula, Bob bertemu anak muda lain yang punya ambisi musik, yaitu Neville O”Riley Livingston (Bunny Wailer) dan Peter McIntosh (Peter Tosh) dan membentuk band bernama The Wailing Wailers. Single pertama The Wailing Wailers, Simmer Down (1963). Di masa-masa awal itu musik Bob bercorak Ska, sebuah ritme asli Jamaica yang saat itu menjadi musik dominan di Jamaica. Sejak pertama itu pula syair-syair Bob begitu penuh percaya diri dan berisi ungkapan-ungkapan yang mengkiritik penguasa kolonial dan akibat yang ditimbulkannya.Di masa itu stasion radio masih berada dalam kungkungan pemerintahan kolonial sebelumnya sehingga hanya menyiarkan musik-musik barat dan tak ada tempat untuk musik lokal, apalagi yang bersyair penuh kritik. Karena itu rekaman album Bob hanya diperdengarkan secara keliling oleh penyedia jasa sound system, dari satu pesta ke pesta lain. Lewat suatu perdebatan yang rasional dan patriotik, akhirnya Bob berhasil “memaksa” seorang penyiar radio untuk mengudarakan lagu-lagunya.

Mulai saat itulah lagu-lagu Bob dikenal di seantero Jamaica dan spontan mendapat tempat di hati rakyat Jamaica. Lagu-lagu Bob selalu penuh dengan metafor-metafor khas Jamaica dan menjadi inspirasi serta menggedor kesadaran rakyat Jamaica untuk bangkit dari kemiskinan dan ketertindasan. Salah satunya adalah metaformetafor yang ada dalam lagu I Shot The Sheriff.Bob Marley dan Politik Bob tak pernah berpolitik dan bukanlah seorang politisi yang kerap berorasi akan penindasan. Baginya yang terpenting adalah komitmennya pada kehidupan dan alam. Musik-musiknya menjadi semacam catatan akan penindasan yang dilihat dan dirasakannya.

Saat Bob bekerja di Amerika Serikat sebagai pembersih lantai di Hotel Dupont atau pun bekerja shift malam di pabrik mobil Chrysler, ia mengalami apa yang disebut diskriminasi ras hingga puncaknya pada kerusuhan rasial dan pembantaian kaum negro oleh Ku Klux Klan. Hal itu membuat Bob shock dan memutuskan kembali ke Jamaica. Di Jamaica, Bob mendalami spiritualitas Rastafari, di mana mengajarkan pembebasan diri dari ketertindasan tanpa melalui kekerasan. Lewat musiknyalah Bob menemukan senjatanya. Dengan corak baru dan petikan gitarnya yang khas musiknya menjadi semakin berkarakter, disebut Raggae. Karenanya musik Bob menjadi semacam surat kabar tentang kehidupan, khususnya berita dan pembelaan kaum yang ditindas. Musiknya menjadi bahasa universal tentang kemanusiaan yang kemudian juga menjadi inspirasi di belahan dunia lain. Adalah Island Record, Inggris yang berperan menyebarkan gagasan-gagasan Bob keluar Jamaica hingga menjadi demam di Eropa. Perkembangan di Jamaica sendiri semakin tidak menentu. Saat itu Jamaica tengah dilanda kerusuhan akibat ketidakpuasan masyarakat karena janji-janji kehidupan yang lebih baik pasca kolonial tak cepat terwujud. Kerusuhan semakin meruncing pada perpecahan bangsa akibat perseteruan politik yang memanas antara PM Michael Manley yang berkiblat ke Kuba dan lawan politiknya Edward Seaga yang berkiblat ke AS. Pada 1976, Bob diminta PM Michael Manley untuk menggelar konser ”Smile Jamaica” untuk menghibur kembali rakyat Jamaica yang tengah susah. Namun konser itu kemudian dipolitisir, karena diselenggarakan menjelang pemilu. Bob akhirnya menjadi korban serbuan sekelompok orang bersenjata ke rumahnya, dua hari sebelum konser. Tangannya terserempet peluru, namun setelah perawatan di rumah sakit, Bob tetap melanjutkan tekadnya menggelar konser. Baginya, hidupnya tidaklah penting, yang terpenting adalah kehidupan rakyat Jamaica. Bob tetap bernyanyi di bawah penjagaan aparat yang ketat. Sesudah konser, Bob mengasingkan diri ke London, selain untuk menenangkan diri, alasan keamanan juga menjadi pertimbangan mengingat CIA memandang musik Reggae semakin dianggap berbahaya sebagai penyulut kesadaran rakyat Jamaica dan gerakan anti Amerika.Tokoh HumanisKecintaannya terhadap Jamaica tak bisa membuatnya berlama-lama betah di London. Baginya Jamaica adalah representasi orang kulit hitam di seluruh dunia serta representasi kemiskinan dan penindasan di seluruh dunia. Karenanya ia merasa harus selalu menjadi bagiannya untuk terus mewartakan serta memperjuangkannya ke seluruh dunia. Setelah empat belas bulan, 1978 Bob pulang ke Jamaica. Melihat Jamiaca yang semakin parah dengan aksi-aksi kekerasan, penculikan dan pembunuhan, Bob berinisiatif untuk menggelar konser gratis bagi proses rekonsiliasi bagi kelompok politik yang berseteru dan menyatukan kembali Jamaica. Konser diberi nama ”One Love” Peace Concert.

Berkat kharisma Bob Marley yang dicintai rakyat Jamaica, konser berlangsung aman dan kedua lawan politik yang berseteru bisa dihadirkan di atas panggung memenuhi permintaan Bob untuk berpelukan dan berdamai. Selanjutnya Bob bertekad membangun Jamaica. Ia membangun perusahaan rekamannya sendiri, Tuff Gong Record, di rumahnya. Dari hasil penjualannya, Bob dapat memberi makan dan menyantuni orang-orang miskin Jamaica. Tercatat ada 3.000 orang lebih yang diberi makan setiap hari. Sementara itu Bob juga terus concern akan kelaparan yang terjadi di sebagian belahan Afrika serta politik diskriminasi warna kulit (apartheid) yang masih dijalankan di Afrika Selatan. Semua itu disuarakan Bob dalam lagu Unite Africa dalam album terbarunya. Kontan saja lagu itu dilarang diperdengarkan di Afrika Selatan. Seluruh piringan hitam album tersebut mengalami sensor dengan menyilet track lagu tersebut dan mencoret pada bagian covernya. Di sisi lain Bob malah mendapat penghargaan menjadi satu-satunya artis
asing yang diundang dalam konser Kemerdekaan Zimbabwe yang dihadiri oleh Pangeran Charles dan persiden pertama Zimbabwe Dr. Robert Mugabe pada 1980.CIA di Balik Kematian Bob?Di tahun 1980 juga Bob mendapat undangan konser tur di beberapa tempat di Amerika Serikat oleh organisasi persaudaraan kulit hitam AS. Di suatu hari minggu, 21 Sepetember 1980, Bob yang tengah berjogging di Central Park, New York terjatuh dan dilarikan ke rumah sakit. Ternyata penyakit melanoma, kanker kulit yang telah dideteksi 3 tahun sebelumnya telah menyebar ke paru-paru dan otaknya. Dokter pun menduga umur Bob hanya akan bertahan beberapa minggu lagi. Delapan bulan setelah berjuang dengan kondisi tubuh yang terus merosot, Bob akhirnya harus menghembuskan nafasnya yang terakhir. Pemakamannya dilangsungkan di Jamaica pada 21 Mei 1981. Banyak pihak yang tak percaya akan kepergiaannya dan meragukan kematiaannya secara normal. Apakah ada peran CIA di balik kematian Bob? Banyak yang menghubunghubungkan aktivitasnya dengan operasi intelejen AS itu. Apalagi kanker melanoma
yang disebabkan kelainan gen, hanya dialami oleh orang kulit putih.
Kematian Bob yang misterius ini pun akhirnya membawa pada latar belakang Bob sesungguhnya. Ayah Bob Marley, Captain Norval Marley, adalah pria kulit putih Jamaica berusia 50 tahun anggota British West Indian Regiment yang menjadi pengawas perkebunan. Ibunya, Cedella Booker adalah gadis kulit hitam 18 tahun yang bekerja di perkebunan tersebut dan dihamili sang pengawas. Mereka menikah tahun 1944 dan pada 6 Februari 1945 lahirlah Robert Nesta Marley alias Bob. Setelah itu sang ayah meninggalkan keluarganya, walaupun sesekali masih memberikan dukungan finansial bagi pertumbuhan Bob. Berasal dari ayah kulit putih inilah yang memberikan kemungkinan bagi Bob secara genetik menderita melanoma. Lepas dari kematiannya yang misterius, kehidupan dan karya-karya Bob adalah sangat nyata. Kesedihannya, cinta dan pemahamannya pada kemanusiaan, pemikiran dan spiritualitasnya adalah sesuatu yang masih eksis dan berpengaruh hingga hari ini. Bob adalah musisi yang disiplin, selalu menjadi orang pertama yang datang dan yang terakhir pulang di studio rekaman. Selalu tepat waktu dan bersungguhsungguh dalam setiap latihan. Bob sangat tidak dapat mentolerir suasana latihan yang tidak serius. Di balik syair-syairnya yang keras, Bob sesungguhnya adalah seorang yang rileks dengan hobbynya dan kemahirannya bersepak bola. Dan di balik kekerasan hatinya, sesungguhnya Bob adalah pribadi yang romantis dan
penuh perhatian. Lagu Stir It Up ditulis dan digubah khusus untuk kekasihnya Rita yang kemudian dinikahinya dan memberikan lima orang putra dan seorang putri. Keenam anaknya dari Rita itu pun lima di antaranya berprofesi sebagai musisi, dua di antaranya peraih Grammy yaitu Ziggy Marley (singer & songwriter) dan Stephen Marley

( thanx to Amild u/ kontribusi tulisan ini )
Jl.Puloasem I C no. 57 Rawamangun, Jakarta Timur
Phone: (021) 4895326 - Fax :(021) 4757005
Ibnu ( Manager) at 08129217757Nino (Album Management)
E-mail : indonesia_rasta@yahoo.com
Reggae dan rasta

Thursday, August 6, 2009

Perubahan yang Setengah-Setengah


Beberapa waktu yang lalu kita sama-sama menyaksikan sebuah pergulatan politik yang sangat dahsyat dari beberapa tokoh politik kita di dalam arena pertarungan pilpres. Semua kandidat melalui beberapa Tim Suksesnya mengaku paling benar dan sama-sama dicurangi. Ada apa dibalik semua itu?

Kita sama-sama mengetahui jika semua yang terjadi di dalam layar kaca tidak semuanya benar. Mulai dari sinetron, kuis berhadiah jutaan rupiah yang akhirnya habis dipotong pajak, rality show yang penuh dengan drama dan air mata bahkan bisa melebihi sinetron, begitu pula dengan yang terjadi dengan politik nasional. Hampir semua yang kita lihat adalah sebuah pencitraan saja. Kembali pada kasus para TS yang menganggap pemilu 2009 sarat dengan kecurangan dan harus diadakan pemilu ulang.
Memang sejak awal kita dapat melihat betapa pemilu kali ini berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. 1999 kita masih menggunakan pola lama hanya saja ada penambahan jumlah partai yang bertarung dalam kancah pemilu tersebut. 2004 mulai ada ruang demokrasi bagi rakyat, dengan dirubahnya UU pemilihan umum yang menyatakan bahwa presiden akan dipilih langsung oleh rakyat. Pada pemilu kali ini pintu demokrasi semakin semakin dibuka lebar dengan diberlakukannya sistem baru dari MK melalui KPU selaku pihak yang bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan pemilu memberikan keleuasaan terhadap pemilih untuk memilih langsung para wakil rakyat mereka di kursi DPR.Pemilu kali ini hampir 40 partai politik bertarung untuk meraup suara dengan berbagai cara termasuk melibatkan kalangan selebritis untuk terjun kedalam dunia politik (yang sebenarnya masih asing bagi mereka) pada pemilu kali ini.

Apapun akan kami lakukan untuk memperoleh simpati rakyat... karena bagi kami rakyat adalah segalanya dan kami muncul pada pemilu kali ini atas permintaan rakyat yang ingin perubahan bagi bangsa ini..." berikut kutipan dari beberapa pimpinan tinggi dalam massa kampanye juli kemarin. Mengatasnamakan rakyat dengan memunculkan beberapa delegasi dari para artis yang notabene adalah seorang aktor dan aktris dan bagi mereka akting dan berperan dengan beberapa karakterpun menjadi pekerjaan sehari-hari mereka. Sangat ironi dengan tujuan mulya mereka mengatasnamakan kakyat yang rindu akan perubahan.

Nampaknya perubahan versi mereka terhadap bangsa ini berbeda, mungkin menurut mereka jika para artis yang akan melenggang di istana akan bisa berakting mamainkan karakter seorang pemimpin bijak seperti dalam sinetron. Jika uji materi hanya dinilai dari peran mereka di dalam sebuah sinetron, maka negara ini juga hanya akan menjadi negara sinetron yang penuh dengan drama dan air mata atau sekalian saja dibuat Sinetron "INDONESIA" pasti banyak penggemarnya. Dan jika hal ini terus dibiarkan terjadi bisa gawat bangsa ini, mau jadi apa bangsa kita ke depannya. Negeri ini bukan hanya dijadikan sebagai gudang artis sinetron saja tapi negeri ini harus muncul ke dunia internasional dengan prestasinya baik dalam bidang Sains, Olah raga, Budaya, Musik bahkan prestasi dalam mengusung demokrasi. (walaupun bisa juga bangsa ini terkenal karena sinetronnya).
Setiap kali diadakan pemilu selalu ada perubahan dan anehnya perubahan itu hanya setengah saja. Walhasil terjadi kekacauan dimana-mana. Buktinya setiap ada pilkada pasti pasca pemilihan pasti saja muncul protes dari kubu yang kalah yang menilai pilkada tersebut tidak sah dan banyak jumlah suara fiktif dan itu terjadi hampir di setiap pemilihan kepala daerah di seluruh indonesia. Hal ini sudah menunjukkan betapa kurang siapnya KPU dalam menyelenggarakan pemilu dan mengakibatkan BAWASLU selaku badan independen pengawas pemilu semakin kurang kredibilitasnya. Apkah selama ini bawaslu tidak mengindikasi adanya kesemerawutan seperti ini? atau mereka terlalu sibuk menyiapkan agenda besar tampil di layar kaya bak seorang pahlawan yang berhasil mengawal pemilu.
Tentunya kita sama-sama pahami negeri ini memang membutuhkan sebuah perubahan. Dan perubahan tersebut tidak muncul secara tiba-tiba tentunya ini memerlukan waktu yang lama untuk berproses, dan dalam proses mengusung demokrasi tidak bisa dilepaskan dari peranan rakyat. Rakyat harus berpartisipasi aktif dalam mengusung demokrasi di negeri ini. Jangan pernah kita menyalahkan para pemimpin kita yang korup dan tidak memihak terhadap rakyat jika kita hanya diam dan asyik dengan dunia kita. Sementara mereka yang menjadi wakil kita dipemerintahan dibiarkan tanpa kontrol untuk berbuat semau mereka. Padahal nasib kita rakyat indonesia ditentukan oleh mereka sebagai mandataris rakyat indonesia.
Untuk itulah kita harus sadar dengan posisi kita sebagai pemberi mandat, kita harus selalu melihat dan mengawasi gerak-gerik para pemimpin kita di sana. Jangan sampai mereka menyalahgunakan wewenang yang telah kita berikan kepada mereka. Ingatlah kekuatan terbesar bangsa ini bukan terletak pada pada pemimpinnya yang cerdas tapi pada seberapa cerdas orang-orang yang dipimpinnya. (che)

Saturday, May 30, 2009

Politik Dan Agama


Islam :Politik dan Agama Ini adalah sebuah jawaban dari pertanyaan saya milihat kondisi rill politikkita saat ini. Entah darimana datangnya pertanyaan ini datangbegitu saja dalam benak saya.Dan secara kebetulan saya bertemu dengan seorang Dosen yang concern dengan politik kita saat ini. langsung saja saya tanyakan pertanyaan ini kepada beliau. Berikut adalah jawaban yang saya dapat dari beliau dan karena saya fikir ini penting diketahui oleh semua orang jadi saya rasa ini akan bermanfaat dan semoga beliau tidak keberatan jika catatan berharga ini saya posting dan sebarkan di blog ini.

Politik dan Agama

Beberapa hari yang lalu, seorang mahasiswa saya bertanya tentang korelasi agama dan politik. Berikut ini jawabannya: Pada dasarnya sumber2 syara membhs segala aspek khdpn termsk politik, tdk heran para ulama salaf dan kholaf byk yg menulis 'Assyiasyah fil islam'. Generasi terbaik, yaitu para shahabat telah jg mewarisk etika berpolitik termsk macam2 cara pemikha (pemilihan khalifah). Jadi politik dan islam ada kaitannya, dan secara tradisi terus dipelihara....

Berpolitik secara islam berarti menyusun aneka strategi agar semua umat sadar+ridha+ikhlas berjln dibawah syariat dan strategi2 untuk mensejahterakan rakyat -karena islam rahmatan lìl alamin- itu semua dalam kerangka ideal.


Nah, kita skrg bicara fakta pada saat ini. Yg terjadi bkn berpolitik secara Islami tetapi memanfaatkan islam untuk tujuan politik. Jadi yg terjadi kini bkn islamisasi politik tetapi politiksasi islam. Akibatnya apa?islam menjadi komoditas politik yg laku dijual. Isu2 islam jadi komoditas politik. Mis. Isu jujur, bersih, jilbab, syariat, santun, jengot, kekhusuan doa/ibdh shalat seseorang dll... Mengapa fakta tsb bs menjangkiti partai termsk partai islam? karena ketika mereka menjadi pemain politik ada bahaya tobaqot/libido kkuasaan. Bahaya tobaqot ini jika dibiarkan dan tdk dikontrol...akan menyebabkan penghalalan segala cara u/ meraih kekuasaan. Mengorbankan islam, keislaman, dan umat islam....akan digunakan. Fakta politisir agama untuk tujuan politik, itulah yang kemudian menjadikan orang berpikir, "sudah tak perlu membawa agama dalam wilayah politik" karena agama itu terlalu suci untuk dipolitisir. Fakta itu membuat "sekulerisasi politik dan agama" jargon-jargon pun muncul seperti "partai yes islam no".

Tetapi fakta sosial yang terjadi sebetulnya tidak layak dijadikan sebagai sumber keputusan. Seharusnya fakta sosial yang terjadi digiring pada sebuah situasi yang mendekati ideal. Jika semuanya mengikuti fakta sosial yang ada, maka garis beda antara benar dan salah akan makin kabur.....dan semua akan mengikuti libido manusia....padahal libido manusia pada 3Ta: harta (kekayaan), Tahta (kekuasaan) dan wanita (kegemerlapan & syahwat) butuh pengendalian tidak bisa dibebaskan. Pengendali libido manusia itu dalam islam disebut sebagai hukum syara. Oleh karena itu berpolitik pun harus dimasukkan dalam kerangka hukum syara. Dalam islam syara banyak mengatur tentang politik (aneka strategi):

  1. Pemilihan kepala negara: mulai kriteria, keabsahannya, dan mekanismenya.
  2. Pengelolaan SDA: apa yang menjadi kepemilikan umum dan pribadi, bagaimana penggunaan dan distribusi kepemilikan umum.
  3. Hubungan luar negeri.
  4. Kemanan dalam negeri
  5. ..... dll


Jika kita beriman bahwa Alloh swt adalah khaliq wa mudabir (Pencipta dan Pengatur), maka kita tentu akan mau tunduk pada ATURAN yang telah dibuat Alloh swt yang bisa dibaca dan dihayati dalam Al Qur'an dan dipraktekan oleh Rasulullah yang prakteknya bisa dibaca di banyak hadits....dan terus dipelihara oleh para shahabat..... bagaimana syara mengatur perpolitikan, itulah yang harus menjadi kajian semua muslim yang akan terjun ke dunia politik, sehingga ia akan tetap berjalan di garis ideal yang diperintahkan syara dan tidak terjebak pada bahaya2 tobaqot. Wallohualam bisawab.

Tuesday, May 26, 2009

Persatuan dalam Perbedaan

Allah SWT berfirman dalam Surah Ali Imran (103) :

Dan berpegang teguhlah kalian dengan tali (agama) Allah, secara keseluruhan, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hati-hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni’mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya, agar kamu mendapat petunjuk".


Khitab (objek perintah dan khabar) dari ayat di atas, menurut mufassir Imam Jalaluddin As-Suyuthi (849-911 H) adalah suku Aus dan Khazraj. Kedua suku ini di era Jahiliyah (sebelum kedatangan Islam), terkenal sebagai suku yang suka bermusuhan dan berperang. Hampir saja, mereka mati dalam kekufuran akibat gemar berperang dan bermusuhan ini.

Untungnya, ajaran Islam datang. Nabi Muhammad SAW dengan kekuatan spirit ajaran Islam yang dibawanya berhasil menjadi sabab dan wasilah Allah SWT mempersatukan dan mempersaudarakan mereka. Terhindarlah mereka dari tepi api neraka dan mereguk air nikmat persaudaraan atas dasar Islam di samping persaudaraan atas dasar kesamaan wilayah teritorial (arab).

Khitob ayat di atas memang turun untuk mengomentari dan menyikapi kebudayaan suku Aus dan Khazraj yang hidup di era Jahiliyah. Namun, jika ditarik pada konteks yang lebih umum dan luas pada kenyataan kaum Muslimin saat ini, maka kita akan temukan model Aus-Aus baru dan Khazraj-Khazraj baru di era modern saat ini. Apalagi dalam konteks kaum Muslimin di Indonesia yang terdiri dari berbagai macam dan beragam suku yang berbeda-beda, maka bahaya perpecahan, permusuhan, pertentangan juga mengancam.

Bahaya itu bukan hanya mengancam. Di sebagian daerah di Indonesia, telah nyata terjadi perang antar-suku dan ras. Meski latar belakang agama mereka Islam, nampaknya persaudaraan se-agama (ukhuwah Islamiyah) tersebut, kurang nyata dan memberi ta’tsir (bekas) dalam pergaulan sosial mereka.

Jika suku menunjuk pada pengertian kedaerahan, wilayah dan ras di mana seseorang hidup dan bertempat tinggal, maka kenyataan perbedaan kaum Muslimin tak hanya itu. Melainkan perbedaan pendapat / pandangan / aliran keagamaan (terutama pendapat / pandangan / aliran tokohnya), organisasi yang digelutinya, kedudukan sosialnya (kaya-miskin), pilihan politiknya, klub olahraga kesayangannya dan lain-lain amat potensial menjadi sumber perpecahan dan “perang saudara”, yang mengancam persatuan dan kesatuan kaum muslimin Indonesia.

Menolak dan mengingkari perbedaan, bukanlah jalan keluar. Menolak perbedaan sama saja memaksakan keinginan mengadakan satu shalat Jama’ah dengan membangun satu Masjid untuk satu bangsa dan negara saja dan membubarkan atas nama persatuan umat Islam, penyelenggaraan shalat Jama’ah di Masjid-Masjid / mushalla-mushalla kecil yang ada di daerah-daerah dan perkampungan kaum muslimin.

Membuka ruang dialog seluas-luasnya (bersikap terbuka) di tengah-tengah kaum muslimin yang berbeda-beda dan berbagai macam karakter itu, baik latar belakang suku dan rasnya, aliran keagamaannya, tokoh (elit) kesayangannya, kedudukan sosial-ekonominya, pilihan politiknya, hobby dan gaya hidupnya, klub olahraga kesayangannya, dll. tampaknya, jalan keluar terbaik yang harus terus dicoba untuk memperkuat dan mengembangkan sentimen persatuan dan persaudaraan se-agama (ukhuwah Islamiyah) dan se-aqidah dalam perbedaan-perbedaan non aqidah. Sehingga lahirlah “suku Aus dan Khazraj baru” yang berbeda dengan era sebelum datangnya Islam (jahiliyah). Bukankah persatuan dan persaudaraan kaum muslimin yang mayoritas ini akan memberikan ta’tsir (bekas) yang baik bagi moralitas kehidupan bangsa Indonesia?. Amiin ya rabbal alamiin.

Kampus : Pabrik Intelektualisme-Aktivisme, Aktivisme-Intelektualisme

Kesempatan mencicipi dunia kampus adalah anugerah Tuhan yang begitu besar. Di tengah himpitan ekonomi yang melanda mayoritas bangsa, maka ada baiknya kesempatan itu difikir ulang untuk ditarik kesimpulan berharga dan bermanfaat bagi siapa saja yang ingin mengawali intelektualisme-aktivisme dari pergerakan kampus-isme. Kampus-isme adalah faham yang menyatakan bahwa tradisi intelektualisme kampus memainkan peranan penting dalam pergaulan hidup. Pandangan ini mencoba menjawab kritik bahwa kampus adalah menara gading yang makin menjauh dari realisme-empirik.

Inilah idealisme di atas idealisme anti-kampus-isme. Yang seolah menafikan urgensi dan signifikansi perkuliahan sebagai proses transformasi kesadaran intelektual untuk kehidupan yang bermanfaat di kemudian hari. Jarang masyarakat di bangsa ini yang dapat merasakan pendidikan di perguruan tinggi. Jarang menyandang status Mahasiswa. Status yang menandakan kelebihan di atas siswa biasa. Baik intelektualisme maupun aktivismenya.

Menjadi mahasiswa berarti menjadi seorang intelektual. Menjadi intelektual berarti menjadi seorang aktivis. Seminim-minimnya aktivisme, adalah intelektual (berfikir dan berbicara) dan semaksimal-maksimalnya, adalah bergerak secara emosional merebut, menggunakan dan melawan kekuasaan.

Kampus : Pabrik Intelektual-Aktivis, Aktivis-Intelektual

Bagaimana kampus dapat memproduksi intelektual-aktivis, dan aktivis intelektual? Bergantung bukan pada kampus itu sendiri. Melainkan mahasiswanya. Sebab, pendidikan kampus adalah pendidikan otonomisasi dan fasilitasi. Kampus bukanlah guru, melainkan sarana dimana pertukaran intelektual, dialog bebas terbuka dosen-mahasiswa berlangsung secara kritis. Kampus adalah tempat membaca buku-buku, mempelajari teori-teori, mendiskusikannya dengan berbagai civitas akademika, dan pada titik terakhir adalah mengujinya di wilayah empirik. Inilah tuntutan bagi semua civitas akademika, bagaimana menyinari kampus dengan teori-teori tersebut. Menghidupkan kampus dengan tradisi berfikir bebas-bertanggungjawab.

Re-thingking soal Ijazah dan Gelar Akademik sebagai Kampus-isme

Ijazah adalah kehormatan dan penghargaan yang selayaknya diberikan kepada mereka yang telah berhasil menjadi mahasiswa sejati. Mahasiswa sejati adalah mahasiswa yang telah membuktikan kapasitas dan kecakapan intelektualnya dan termanfaatkan di ruang public. Merekalah yang seharusnya mendapatkan ijazah. Bukan mereka yang ingin mencari uang dari ijazah (gelar) itu. Bukan mereka yang ingin diterima dan bisa hidup oleh dunia modern. Karena mahasiswa sejati, justru membalik diri bahwa dunia modern lah yang mau tak mau harus menerima mereka karena otentisitas, keutuhan dan kesejatiannya. Mahasiswa tak butuh ijazah dan gelar. Namun, gelar dan ijazah itulah yang harus menjemput mereka, mendekati mereka, memberi mereka. Ia tak minta diakui. Yang diakuinya hanyalah perjuangan terhadap kebenaran intelektual-aktivis. Bagaimana ia butuh kepada pabrik intelektual-aktivis, sementara dirinya sendiri sudah merupakan pabrik.

Dengan paradigma ini, upaya melanjutkan kuliah tak ada kaitannya dan bergantung dengan soal wisuda atau tidak, lulus atau tidak, bisa atau tidak. Tidak seperti itu melihatnya, melainkan dari pandangan bahwa kebenaran harus dicari sampai ketemu. Bahwa hakikat mahasiswa harus diraih, itulah motivatornya. Sehingga, kesejatian tidak tunduk oleh kata sarjana, kata wisuda, kata gelar dan kata-kata lain yang kosong. Disinilah peran kesejatian, mengisi dan mewarnai kata-kata kosong itu lebih berarti dan bermakna.

Dalam satu tulisan, Romo YB Mangun Wijaya mengatakan : “Percuma punya ribuan alumni cerdas, sementara massa rakyat dibiarkan bodoh dan tertindas, dengan segera alumni cerdas itu akan menjadi penindas baru dengan modal kecerdasannya”.

Satu kritik keras, kepada para sarjana, wisudawan, yang tak melanjutkan klaim intelektualnya ke wilayah empirisisme (pembuktian). Bukankah mereka sudah disiram oleh lagu-lagu nasionalisme (padamu negeri), pengabdian kebangsaan, dan sumpah prasetya sarjana saat wisuda. Bukankah sumpah itu tak main-main. Kalau hanya untuk formalitas, mengapa mau mereka bersumpah dengan sumpah itu, bukankah mereka dengan kelulusan intelektualitasnya dapat mengkritisi sumpah prasetya sarjana itu bilamana mereka tak kuasa menjalankannya. Siapa yang akan mempertanyakan sumpah / janji mereka itu? Bukankah janji itu utang. Problem realitas-empirik, adalah utang kaum intelektual yang harus dibayar dan akan ditagih terus menerus oleh mereka yang disebut-sebut dalam isi prasetyanya itu. Bangsa, agama, Negara, dst. Setidaknya pada taraf minimal dan dan level mikro mereka harus mengatasinya. Untuk mencicil pelunasan dan pembayaran utang tersebut.

Karena itu hakikat kampus tidak satu arti dan pemahaman melainkan banyak : pertama, kampus tempat mencari gelar dan sarjana untuk mencari penghidupan yang layak, kedua, kampus tempat agar bisa diterima dalam kehidupan modern, ketiga, kepatuhan terhadap kaderisasi birokrat-teknokratis yang digawangi oleh industri besar sehingga kampus menjadi perpanjangan kepentingan mereka saja, keempat, tempat belajar, membaca buku-buku, kajian, berdialog, berdiskusi, bertukar pikiran, gerakan dan tindakan, berdebat, berbantah-bantahan secara benar, untuk menjawab tantangan kekinian dan ke-masadepan-an. Pandangan ini dapat diadu dengan pandangan kaum birokrat-formalis sendiri. Sehingga muncul sintesa baru dalam meletakkan kembali peran kampus dalam pergaulan hidup.

Penulis memilih hakikat yang keempat. Dan akan terus memperjuangkan hal ini meskipun di sekeliling penulis, banyak jebakan dan perangkap “hakikat-hakikat” yang lain. Jebakan gelar, ijazah, sarjana, materi ekonomi, institusionalisasi, birokratisasi, teknokrasi, modernitas, yang potensial menjerumuskan kepada arogansi intelektual dan menjatuhkan kebenaran pada lubang terdalam dalam kehidupan.

Menjadi Intelektualism-Aktivism, Tak Harus Anti-Kuliah
Dengan pola pikir, seperti itu, maka kampus / perkuliahan seharusnya bukan penghambat. Melainkan tantangan? Pertanyaan? Ujian kepada kebenaran intelektualisme –aktivisme kita. Gelar akademik, ijazah, nilai-nilai formal, prosedur birokratik, kaderisasi birokratik, institusionalisasi teori-teori, bukanlah penghambat pada kemajuan mereka yang ingin meraih identitas kesejatian intelektual dalam kemahasiswaannya. Mereka yang ingin lunas memenuhi tuntutan dan permintaan menjadi the real student.

Disinilah asas kemandirian sebagaimana di sebut di awal berlaku dan menemukan signifikansinya. Mahasiswa mana yang tidak berhasil memandirikan dirinya, meng-otonom-isasi dirinya, meng-utuhkan dirinya, mem-personal-kan dirinya, memerdekakan fikiran dan tindakannya, maka ia bagaikan anjing yang berkalung gelar akademik, berpakaian toga, nilai-nilai formal, teori-teori buku, institusionalisme. Penulis menyebut “bagaikan”, sebab, ia bukanlah “anjing” sungguhan. Melainkan, setengah manusia. Akhirnya, makhluk yang merdekalah yang layak berkalung itu. Merebut kesejatian kemerdekaan diri, bukan hal mudah. Namun, harus dilanjutkan dan didiskusikan terus-menerus, bukan? Hingga tiba saatnya kemerdekaan sesungguh-sungguhnya ada di tangan dan fikiran kita?. Amiin.(Darul Qutni)


Wednesday, April 15, 2009

ISLAM, PEMILU DAN KEBOSANAN POLITIK

Dalam ajaran Islam, tidak dikenal kata demokrasi. Namun, jika yang ditunjuk dari pengertian demokrasi adalah dialog dan penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan persamaan hak. Maka, ajaran Islam memang mengenal dan mengajarkan kepada pemeluknya dengan istilah musyawarah dan al-Mabadi’ al-Khamsah (lima prinsip dasar hukum Islam) dan banyak lagi dasar hukum lainnya. Lima prinsip dasar yang dirumuskan para ahli yurispridensi hukum Islam itu meliputi pemeliharaan dan penjagaan atas keyakinan agama (hifdz al-din), jiwa seseorang (hifdz al-nafs), akal (hifdz al-aql), kehormatan dan keturunan (hifdz al-‘Irdl wa nasl), harta (hifdz al-mal),. Dengan demikian, demokrasi dalam pengertian di atas dapat diterima sebagai bagian dari ajaran Islam meski terungkap dalam istilah/ungkapan Yunani (demos dan kratos). Yang kemudian diterjemahkan oleh George Washington, Presiden AS pertama sebagai pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat.

Namun, bilamana istilah demokrasi ditujukan artinya atau diukur sebatas Pemilu, maka, penulis mengingatkan bahwa ajaran Islam tidak pernah mengenal kata Pemilu (Pemilihan Umum) sebagai proses yang tetap dan tunggal dalam sejarah pemilihan pemimpinnya. Dalam sejarah Islam, tidak ada prosedur tetap untuk menentukan dan memilih pemimpin. Pemimpin tertinggi umat Islam, yakni Nabi dan Rasul, terutama Pemimpin para Nabi dan Rasul, Nabi Muhammad SAW terpilih oleh legitimasi wahyu. Sehingga beliau digelari, al-Mustofa (manusia pilihan Tuhan).

Dalam satu tulisannya, KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menerangkan bahwa pengganti Nabi Muhammad SAW, yakni Khalifah Abu Bakar Siddiq, RA terpilih oleh kesepakatan kaum Muslimin, Khalifah Umar atas penunjukan Khalifah Abu Bakar Siddiq RA. Jika di era modern, dapat diumpamakan seperti penunjukan Presiden kepada Wakil Presiden. Di akhir hayatnya, Khalifah ‘Umar RA meminta dibentuk sebuah dewan pemilih (ahlul halli wal ‘aqdi), yang beranggotakan tujuh orang untuk memilih pengganti beliau. Lalu, bersepakatlah mereka untuk mengangkat Utsman Bin Affan RA, sebagai Kepala Negara / Pemerintahan. Selanjutnya Utsman RA digantikan oleh Ali Bin Abi Thalib RA. Pada saat itu, Abu Sufyan, tengah mempersiapkan anak cucunya, untuk mengisi jabatan di atas.

Keteladanan Nabi Muhammad SAW
Dari keterangan di atas, jelas bahwa kepemimpinan Islam tidak mengenal prosedur yang tetap. Bahkan, jika dicermati dari dari kepemimpinan tertinggi Islam, yakni Nabi Muhammad SAW, maka semakin terang pula bahwa kepemimpinan beliau yang mulia, didasari oleh wahyu (berita yang benar) dari Allah SWT (al-Qur’an-Hadis), tidak terikat waktu (misalnya, lima-sepuluh tahun memimpin) dan tidak pula tempat (diutus untuk seluruh manusia, bukan wilayah tertentu saja seperti Arab), dan berdimensi seumur hidup (sepanjang masa) dalam menjalankan tugas kenabian dan kerasulannya.

Meski demikian, Beliau SAW berhasil meraih pengikut setia belasan juta manusia hingga kini di seluruh dunia. Meski, tidak sedikit pula yang memusuhinya, memeranginya, menghinanya, mencacinya, mencercanya, menimpuknya hingga berdarah-darah, dan melakukan percobaan pembunuhan terhadapnya. Michael H. Hart, dalam bukunya, 100 Orang Terpopuler Di Dunia, meletakkan Rasulullah Muhammad SAW di peringkat pertama. Ini, tak lain, karena kepribadiannya yang memiliki keluhuran dan kemuliaan etika (akhlak karimah) dalam kehidupan sehari-harinya dan membawa rahmat bagi manusia dan alam semesta. Inilah prototipe ideal dan teladan (uswah hasanah) bagi para calon pemimpin bangsa dari kaum muslimin.

9 April 2009, bangsa Indonesia baru saja melakukan Pemilu Legislatif. Dan beberapa bulan ke depan, akan dilanjutkan dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden periode 2009-2015. Di tangan siapa, kepemimpinan negara ini dipegang, akan menentukan nasib bangsa di masa sekarang dan masa yang akan datang, setidaknya lima tahun ke depan. Apakah para pemimpin itu telah siap lahir batin membawa bangsa ke arah yang lebih baik?.

Caleg setengah hati
Terlepas dari jawaban di atas. Waktu yang akan menjawabnya. Namun, ada budaya politik yang masih dilestarikan oleh para elit politik kita dan calon pemimpin kita. Yakni, pertama, soal kesediaan pengorbanan baik moril maupun materiil yang terikat oleh waktu menginginkan jabatan atau jabatan saja. Yakni, ketika ingin meraih jabatan dan posisi saja. Di mana, penulis sendiri banyak temukan di lapangan, para calon anggota legislatif (Caleg) yang hanya berani mengeluarkan ongkos yang banyak untuk kampanyenya. Usai Pemilu, mereka tidak lagi aktif dalam perjuangan politik-kebangsaan. Seolah-olah perjuangan politiknya terikat jabatan. Usai tidak mendapatkan jabatan atau habis masa jabatannya, para caleg tidak lagi bersedia atau rela berjuang untuk rakyat atau mengorbankan materinya.

Dengan demikian, bisa jadi benar anggapan/tuduhan masyarakat bahwa banyak caleg hanya bertujuan mencari jabatan saja (kepentingan pribadi) dalam Pemilu dan bukan menjadikannya alat perjuangan bagi kesejahteraan rakyat dan kepentingan bangsa. Budaya ini amat disayangkan, mengingat tingkat partisipasi politik yang tinggi (dengan bukti keberanian para caleg memajukan diri minta dipilih dan mengeluarkan ongkos yang besar) semacam ini tidak diteruskan oleh perjuangan jangka panjang untuk membuktikan kemurnian dan ketulusan niatnya mengeluarkan ongkos besar semuanya untuk kepentingan bangsa dan bukan kepentingan pribadi. Banyak caleg yang semangat sebelum Pemilu namun menyerah berjuang setelah mengalami kekalahan, atau anggota dewan yang tidak lagi berjuang minimal secara moril setelah habis masa jabatannya.

Kebosanan Politik Prosedural
Kedua, soal kenyataan dominasi politik prosedural. Kenyataan yang membahayakan bagi masa depan bangsa. Jika politik yang berjalan, adalah dominasi politik prosedural (seperti Pemilu, pembuatan aturan, dll.) dan kurang jelas soal substansi politik dan orientasi kepemimpinannya yakni kesejahteraan dan kemaslahatan rakyat dan tidak terlaksananya aturan-aturan tersebut. Kenyataan itu dibuktikan dari sekian kali terjadi sirkulasi kepemimpinan pascareformasi, belum juga kunjung terjadi perubahan yang berarti bagi bangsa. Artinya, kepemimpinan yang ada belum mampu memberikan yang terbaik bagi rakyat yakni kesejahteraan lahir batin. Presiden berganti, namun keadaan tetap belum berubah. Bila melihat para calon dan bakal calon Presiden, maka yang tampak adalah wajah-wajah lama. Seperti Susilo Bambang Yudhoyono, Jusuf Kalla, Megawati Soekarno Putri, Prabowo, Wiranto, dll. Mereka telah diberi kesempatan memimpin bangsa dalam bidangnya masing-masing, namun kurang jelas hasil dan perubahan dari kepemimpinannya setidaknya dalam pandangan pribadi penulis.

Jika hasil Pemilu 2009, tidak juga berarti apa-apa bagi kemaslahatan rakyat, maka inilah yang disebut penulis di atas sebagai kebosanan politik. Rakyat di masa depan akan dan bahkan sejak sekarang telah bosan melihat perpolitikan Indonesia lebih banyak gonta-ganti pemimpin (politik prosedural) dibanding mengganti keadaan rakyat ke arah yang lebih baik (politik substansial). Menurut penulis, rakyat kini merindukan pemimpin baru dengan peradaban baru !. ***

Saturday, March 7, 2009

Democrazy Indonesia

Che's Speak :
Semakin dewasa bangsa indonesia bukanmengalami kamajuanakan tetapi maik terpuruk keadaannya. Hal ini terlihat dari perkembangan kehidupan demokrasi di indonesia yang semakin semerawut, proses demokrasi yang dipahami hanya sebatas prosedural saja membuat bangsa semakin mengalami keterpurukan dalam segala lini bahkan ditambah lagi dengan krisis global yang menghancurkan kapitalis besar di dunia ( Lehman bros, toyota, dll) memberikan imbas kepada negara berkembang sepert indonesia. mungkin kita bisa melihat dari semakin banyaknya penggangguran dan jumlah anak putus sekolah yang semakin tinggi, sembako yang melambung di atas awan sampai ada yang harus rela makan nasi aking itu semua dampak dari kegagalan sistem pemerintahan kita. Sistem pemerintahan negara yang masih takut terhadap pengusaha dan tidak berpihak kepada rakyat semakin menambah luka negeri kita dan semakin banyak air mata yang mengalir dari mata bening ibu pertiwi. Para founding father kita menangis dalam kuburnya melihat bangsa yang dulu mereka perjuangkan sampai mengorbankan jiwa dan raganya sudah berada dalam ambang kehanuran.
Semua itu akinbat dari pemahaman demokrasi yang setengah-setengah (sebatas tatacara, prosedural dan normatif) dan ini sangat kontradiktif dengan amanat para pendiri bangsa yang memilih faham demokrasi sebagai faham negara kita dan menyusun konstitusi sebagai sarana untuk menjaga kelestariannya. Namun setelah tumbuh demokrasi dibiarkan dan diacuhkan tanpa ada kepedulian untuk menjaga atau melestarikannya. Dan alhasil negara kita semakin tersudut di tepi jurang kehancurannya dan akan menjadi bangsa yang bobrok...!!!

Thursday, February 12, 2009

Hasrat (Hak dan Aspirasi Rakyat)

Hasrat: (Hak & Aspirasi yang tak Tersalurkan) Jelang pemilu 2009
Oleh : Royani Mahasiswa Tarbiyah Uin Syariefhidayatullah Jakarta semester VI

Indonesia mengenal faham demokrasi sudah sangat lama, bahkan sejak Indonesia belum memproklamirkan diri menjadi sebuah Negara yang merdeka. Sebagai Negara yang demokratis hal ini tercermin pada saat para walisongo (sembilan wali) selalu mengedepankan musyawarah dan mufakat dalam setiap membuat kebijakan dan sudah menjadi hukum alam di dalam musyawarah terdapat jajak pendapat, usulan-usulan, adu argument, dan interupsi yang dikemas dalam wadah aspirasi. Untuk mencari jalan keluar dari permasalahan yang kita hadapi bersama. Hal yang sama juga dilakukan oleh para founding father kita. Dengan jalan musyawarah dan kesepakatan bersamalah dibentuklah sebuah aturan-aturan yang kita sebut sekarang sebagai Udang-Undang sebagi sebuah konstitusi dan sumber hukum bagi bangsa indonesia.

Hak mengelurakan pendapat adalah hak asasi bagi setiap individu dan menjadi wajib hukumnya apabila kita berada di dalam sebuah forum demokrasi (Negara). Hak untuk bereksrpesi, beraspirasi, dan berorganisasi adalah amanah konstitusi apabila ada yang menghalang-halangi kita untuk berekspresi, beraspirasi dan berorganisasi maka itu adalah musuh Negara karena telah menyalahi undang-undang.
Akan tetapi kita harus tahu dan faham kaidah dan aturan yang berlaku dalam mengeluarkan pendapat. Apakah cara kita sudah benar dan tidak melanggar aturan dan tatib yang berlaku.

Peranan legislative (DPR/MPR)
Legislative dalam sebuah rezim yang demokratik adalah unsur kedua dalam Triaspolitica Aristotelian. Beberapa unsure harus benar-benar mempunyai susunan tugas dan kerja yang terperinci dan mendasar. Meskipun dalam sejarahnya belum pernah hal itu terjadi (max webber). Dan yang paling vital dalam triaspollitica adalah legislative karena dari jalur inilah komunikasi antara rakyat dan pemimpinnya bisa terjadi. Legislative yang dianggap sebagai representative dari rakyat tetap saja hal itu masih menjadi dongeng belaka. Satu hal yang harus diperhatikan adalah akuntabilitas dan loyalitas kepada ngara dan rakyat atas jabatan yang diembannya. Meskipun kita hanya bisa menerima atas semua kebijakan yang mereka keuarkan, akan tetapi ini bukan berarti kita tidak bias menolaknya. Sebagai bentuk penolakan atas kebijakan tersebut banyak yang diimplementasikan dengan aksi-aksi penolakan BBM, konfersi minyak ke gas, dan pembatalan pengesahan UUBHP, serta banyak lagi bentuk-bentuk penolakan rakyat terhadap kebijakan yang meninidas. Sebagai sebuah institusi yang sangat dihormati dan sangat vital perananannya bagi Negara tentunya dapat lebih aspiratif dan selalu mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan sendiri maupun golongan. Dan aksi-aksi penolakkanpun tidak akan terjadi. Aksi-aksi yang dilakukan selama ini adalh sebagai bentuk kekecewaan tehadap wakil rakyat yang dinilai tidak aspiratif terhadap keinginan rakyat.
Hal yang terjadi terkadang malah kontradiktif. Selain itu kreatifitas yang kurang membuat para para pejabat tidak bisa mengentaskan madalah rakyat yang sedang terjadi, yang meraka lakukan hanya menjalankan tugas dan atau merealisasikan ransangan tugas dari pejabat terdahulu saja. Sedang kita tidak tahu apakah itu realisasi dari kebijakan yang populis atau malah itu menjadi bentuk penindasan baru dari pejabat yang baru.

Peranan mahasiswa

Mahasiswa yang selalu mengaku Agent of Change atau Agen Of Social Control selalu kena getahnya, sebagai contoh kecil ada teman saya yang takut pulang ke rumahnya karena selalu ditanya oleh masyarakat sekitarnya kenapa samapai saat ini belum ada perubahan ekonomi. Bagaimana tidak jika setiap kali mereka aksi (demonstrasi) selalu dianggap angin lalu bagi pemerintah dan selalu saja di benturkan dengan para parat yang tidak segan-segan melakukan tindakan represif atas instruksi dari para pejabat dan para pemimpin rezim (hajar semua aral membela yang bayar). Aksi-aksi yang dilakukan selalu saja antiklimaks dan yang terjadi mereka harus menerima luka lebam akibat bentrok dengan aparat bahkan ada yang sampai mendekam di penjara karena dianggap sebagai profokator. Sungguh sebuah tindakan pelanggaran terhadap konstitusi.
Sudah jatuh tertimpa tangga itulah yang dialami para mahasiswa sekarang mereka disalahkan oleh rakyat, tetapi juga dibungkam oleh pemerintah. Selama ini aksi-aksi yang mewarnai di daerah-daerah dan di kota-kota yang sering kita temui di surat kabar dan media informasi lainnya hanya aksi yang bersifat sinergis bukan kritikan atau penolakkan terhadap kebijakkan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat.

Rakyat
Dan yang paling parah menanggung semua akibat ini adalah rakyat. Rakyat kecil di desa-desa semakin kesulitan, bahkan ada yang kelaparan, busung lapar, serta harus memakan nasi aking. Para pengusaha juga terkena imbasnya karena krisis global yang melanda negeri bebrapa waktu yang lalu sehingga banyak pabrik-pabrik yang harus gulung tikar. Akankah semua ini akan berakhir setelah pemilu 2009 ataukah semakin bertambah parah. Semua itu tergantung dari kita semua. Namun bagi bangsa kita dewasa ini pemahaman demokrasi hanya sebatas prosedural tanpa memahami lebih dalam arti dari demokrasi yang sesungguhnya. Yang mereka tahu hanyalah di negara demokrasi akan ada pemilu untuk mencari pemimpin dan yang memilihnya adalah rakyat dan jika ingin berkuasa di negeri ini maka kita harus pandai-pandai mencuri simpati rakyat. Tanpa disadari pengetahuannya hanya sebatas kemampuan seorang anak SD yang baru mendapatkan pelajaran PPKN dari gurunya. Asalkan bisa dipilih dan dan menang dipemilu mereka bisa berkuasa dan mendapatkan tahta di negeri ini. Inilah yang mendorong menjamurnya para calon-calon legislatif dan pemimpin negeri ini, padahal jika kita tanyai kemampuan apa yang dimilikinya jawabannya hanya kosong belaka. Tanpa ada basic kepemimpinan yang teruji serta kematangan berfikir dan wawasan luas saja tidak menjadi prasyarat pokok seseorang mencalonkan diri, program-program yang akan dilaksanakan, serta amanah saja belum bisa mengangkat bangsa kita dari keterpurukan apalagi hanya dengan modal nekat dan uang saja mereka sudah berlomba-lomba membentangkan spanduk dan iklan agar rakyat memilihnya.
Apakah kita masih percaya kepada elite politik seperti mereka atau akankah muncul Satrio Piningit (bukan aliran sesat di pasar minggu) atau pahlawan yang akan mengangkat bangsa kita dari keterpurukan semua itu hanya waktu yang akan menjawabnya dan jawabannya setelah pemilu 2009.

Musim Baru Di Indonesia



Jika anda ditanya oleh teman anda dari luar negeri yang berkunjung ke indonesia. Ada berapa musim di Indonesia? Maka anda harus menjawab ada tiga yakni kekeringan (kemarau), banjir (penghujan) dan yang paling lama masanya adalah musim kampanye. Bagi masyarakat indonesia yang tergolong masyarakar agraris musim Kemarau adalah saat yang tepat bagi para petani untuk menanam tanaman palawija, sayur-sayuran, dan buah-buahan. Dan untuk sebagaian masyarakat maritis ini adalah waktu yang tepat untuk melaut, ikan-ikan berada dalam koloni besar dan semakin mudah untuk ditangkap sehingga bisa menaikan penghasilan mereka. Musim penghujan adalah masa tanam bagi para petani yang biasanya ditandai dengan jatuhnya tahun baru cina imlek karena sawah-sawah akan menampung banyak air sehingga bisa untuk menanam padi. Dan untuk masyarakat pantai ini adalah masa krisis karena kegiatan melaut mereka akan terganggu selain karena hujan disertai badai yang membuat pandangan kabur apalagi dengan hanya mengandalkan perahu atau kapal sederhana karena banyak nelayan yang hilang atau perahu mereka ternggelam karena tertabrak oleh kapal tongkang atau terhempas badai yang datang. Musim hujan yang disambut dengan suka cita oleh kebanyakan orang tionghoa karena akan banyak pula rejeki yang datang jika turun hujan pda waktu imlek akan tetapi di sisi lain hal ini sekaligus sebagai pertanda buruk.
Efek prtambahan suhu bumi serta perubahan iklim atau yang biasa disebut dengan istilah global warming memang menimbulkan efek domino khususnya di indonesia. Pertama adalah dari segi ekonomi. Para pertani sekarang susah untuk bercocok tanam selain karena sawah ladang yang kian menyempit digantikan bangunan entah milik siapa juga karena semakin susahnya memprediksi datangnya musim penghujan atau musim kemarau yang tiba-tiba datang, dalam satu daerah dilanda banjir akan tetapi di daerah lain para petani tidak meladang karena lahannya kekeringan dan gagal panen karena pada saat menjelang panen musim hujan keburu datang, bakalan semakin banyak rakyat yang kelaparan nih jika pemerintah tidak melakukan tindakan antisipatif.(ngareeep)
Dari segi social banyak anak-anak dan balita yang menderita kekurangan gizi, busung lapar, dan kelaparan karena orang tua mereka tidak bisa bertani dan bercocok tanam. Dan yang paling menarik sekaligus memprihatinkan adalah dalam segi politik. Muncul musim baru yang disebut dengan musim kampanye. Bahkan waktu datangnya pun terkadang lebih cepat dari yang seharusnya. Hal yang sangat memusingkan para peneliti di BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika) dan para petugas KPU (Komisi Pemilihan Umum) serta panwaslu (dua diantara yang saya sebutkan tadi memang sengaja membiarkan hal itu terjadi) ini menjadi catatan besar pada sikap kedewasaan dan kesadaran politik rakyat Indonesia. Pemahaman kita masih pada tataran Politik Macheavelian atau menganggap politik sebagai kepentingan dan untuk itu setiap orang rela melakukan apapun demi kepentingannya bisa tercapai. Dan untuk itu mereka menghalalkan segala cara tanpa menghiraukan aturan dan tatib yang berlaku. Hal ini banyak terjadi di seluruh indonesia bukan hanya di daerah daja di ibu kota hal ini hampir dianggap lumrah. Kita sampai tidak bisa lagi melihat birunya langit dan merasakan hangatnya sinar mentari di pagi hari karena (selain tertutup oleh gedung-gedung tinggi menjulang) terhalangi oleh spanduk para caleg-capres yang dibentangkan menutupi birunya langit.
Bangsa indonesia yang mengaku sebagai bangsa yang demokratis baru bisa memahami demokrasi secara prosedural saja yang hanya terpaku pada prosedur dan proses yang ada dalam demokrasi itu sendiri tanpa mengetahui dan faham apa sebenarnya makna demokrasi yang sesungguhnya. Nilai-nilai demokrasi yang sangat menjunjung nilai-nilai manusiawi dan hak asasi ini harus tercoreng oleh tindakan bodoh yang reaksioner, fragmatis serta lebay akibat pemahaman kita yang masih cetek. Jika hal ini terus dibiarkan yang terjadi bukan terciptanya negara demokratis akan tetapi cheaos serta keterpurukan dan antiklimaks yang akan merugikan bangsa kita.(che)



Bookmark and Share

Friday, January 30, 2009

Krisis Pendidikan

Nasib pendidikan negeri-ku
Negara menempati urutan ke 107 dari 177 negara di dunia berdasarkan penilaian atas kemajuan dan kualitas output dar setiap lembaga pendidikan tingkat atas untuk terjun ke era globalisasi pada setiap tahunnya(). Sangat mengejutkan memang kalau lita bandingkan kejayaan dunia pendidikan kita yang pernah merajai asean, betapa banyak dan antusiasnya negara-negara tetangga yang mengharapkan bantuan tenaga pengajar dari negeri kita dan berbondong-bondong memboyong ribuan guru dari seluruh Indonesia untuk dibawa ke Negara mereka masing-masing.
Karena kemashuran dan kualitas itulah bangsa kita menjadi central pendidikan asean. Akan tetapi itu beberapa decade telah terlewati dan kita bisa lihat kondisinya sekarang Negara kita berada diurutan terbawah dari Negara-negara di asia tenggara. Negara kita yang dulu termashur dimata negeri-negeri jiran kini menjadi alas dan tempat pembuangan bagi insinyur-insinyur gagal dari Negara mereka. Sangat menyedihkan memang melihat kondisi ini. Kebanggan terdahulu kini hanya menjadi kenangan manis dan romantisme masa lalu belaka. Hanya menjadi dongeng pengantar tidur si buyung.
Kita telah menyia-nyiakan kerja keras para pejuang pendidikan pendahulu kita. Kihadjar Dewantara, R.A Kartini, dan masih banyak lagi para pejuang yang telah memberikan kontribusi yang sangat besar dalm dunia pendidikan dibawah baying-bayang penjajahan colonial.

Pendidikan Indonesia daimbang batas
Mungkin lebih tepatnya ini adalah fase kritis bagi dunia pendidikan kita sekarang ini. Wacana demokrasi sebagai faham yang dianggap pantas bagi negeri heterogen seperti Indonesia ini sudah merambah kesegala sector termasuk juga sector pendidikan yang menjai fondasi pembangunan bangsa. Selama ini wacana itu terus-menerus coba dikembangkan dalam setiap instansi dan lembaga pendidikan secara menyeluruh. Hal itu terbukti dari memberikan ruang seluas-luasnya bagi peserta didik untuk mengeluarkan pendapat dan dan argumentasi yang ilmiah berdasarkan rasionalitas. Meski masih banyah dibeberapa sekolah masih terdapat beberapa guru yang otoriter, dan selalu memaksakan kehendak kepada peserta didiknya. Karena kebodohan guru dalam pemahaman demaokrasi dan aplikasinya. Perlu dipahami betul bahwa mayoritas rakyat Indonesia masih prgaya dan mnjunjung tinggi tradisionalisme dan budaya mistisisme oleh feodal ortodoks. Artinya, dalam otak bangsa kita ini masih terkonstuk dengan kokoh doktrin-doktrin penindasan di zaman kerajaan dahulu agar tidak ada protes dan perlawanan dari rakyat pada saat itu, contonya seperti (urgo unut neroko katut, anom kudu nurut ing wong tuo, jawa) dan berakibat buruk sekali bagi penyelengaraan demokrasi di negeri ini.

Nasib guru dan murid
Segala dilemma memang sudah ada di depan mata kita dari berbagai kebijakan dari pihak lebaga pendidikan sebagai negasi dari konstitusi dari Negara. Setelah berbagai masalah dalam dunia pendidikan kita. Terlebih setelah pemerintah berencana untuk menjadikan semua lembaga pendidikan harus berbadan hukum. Yang tertuang dalam RUU BHP. Dan disitu kita akan melihat dengan jelas bahwa di negeri ini juga masih menganut faham feodalistik cultural yang kental dengan nuansa kasta dan seolah orang miskin diharamkan untuk bisa mengenyam pendidikan. Hal ini akibat dari faham pendidikan berbasis material yang diterapkan di barat. Manusia modern yang tidak punya pegangan akan semakin bunging dan berada dalam kebimbangan diliputi skeptisisme akut yang bisa berakibat penderitanya menjadi gila antara harus mengikuti budaya barat tetapi diskrimainatif atau tetap mempertahankan budaya asli yang kolot dan ketinggalan zaman.

Berjuang melawan kemiskinan


Berjuanga melawan kemiskinan

inilah elis dan ibu angkatnya beserta dua saudaranya yang masih belita
Siswi yang berusia duabelas tahun ini berhasil membuktikan bahwa kemiskinan bukan alasan untuk meraih prestasi. Ia berpendapat miskin itu sudah biasa bagi kita semua dan jangan dijadikan alasan untuk bermalas-malasan. Rasa kagum dan bangga terlihat dari raut wajah sang ayah ketika mendengar puterinya menjadi juara dalam kelas itu. Peluh dan keringat untuk biaya sekolah puterinya seolah tidak sia-sia ketika mendengar kabar itu. Bagaimana tidak seorang anak kecil yang hidup di daerah yang jauh dari-akses pendidikan dan informasi- kota ini setiap harinya harus menempuh jarak beberapa kilometer untuk sampai ke sekolah dan belajar. Dan sekarang ia bisa membuat bangga ayahnya dan pasti almarhum ibundanya tersenyum di surga melihat puterinya menjadi anak yang pandai.
Ditinggal sang Bunda
Ibundanya yang telah wafat membuat ia harus berbagi waktu antara belajar, mengerjakan pekerjaan rumah seperti memasak, mencuci dan mengurus adik-adiknya yang masih balita. Ibu angkatnya hanya sesekali menjenguk karena beliau juga punya banyak urusan mengurusi suami dan putera-puterinya. Bayangkan anak sekecil itu harus mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan ketika adik-adiknya lelap tertidup barulah ia membuka buku pelajaran dan mengulang kembali semua materi yang telah diberikan di sekolah. Namun ia tetap bertekad akan terus mempertahankan prestasinya dan mengajak teman-teman lainnya agar mengikuti jejaknya serta tidak lagi terperangkap kepada jargon “kemiskinan”. Kemiskinan bukan untuk ditakuti tapi untuk di lawan. Selamat kepada Elis, selamat kepada penerus bangsa yang cerdas, selamat kepada calon pemimpin masa depan. Lanjutkan perjuanganmu dan lawan terus kemiskinan.
href="http://chevenk.wordpress.com/2007/11/04/membuat-link-dalam-satu-halaman/#berjuang melawan kemiskinan"> Kembali ke atas

Tuesday, January 20, 2009

malaikat

Lirik lagu Dewi Lestari - Malaikat Juga Tahu
">
Lelahmu jadi lelahku juga
Bahagiamu bahagiaku pasti
Berbagi takdir kita selalu
Kecuali tiap kau jatuh hati

Kali ini hampir habis dayaku
Membuktikan padamu ada cinta yang nyata
Setia hadir setiap hari
Tak tega biarkan kau sendiri
Meski seringkali kau malah asyik sendiri

Karena kau tak lihat terkadang malaikat
Tak bersayap tak cemerlang tak rupawan
Namun kasih ini silakan kau adu
Malaikat juga tahu siapa yang jadi juaranya

Hampamu tak kan hilang semalam
Oleh pacar impian
Tetapi kesempatan untukku yang mungkin tak sempurna
Tapi siap untuk diuji
Kupercaya diri.. Cintakulah yang sejati

Namun tak kau lihat terkadang malaikat
Tak bersayap tak cemerlang tak rupawan
Namun kasih ini silakan kau adu
Malaikat juga tahu siapa yang jadi juaranya

Kau selalu meminta tuk terus kutemani
Engkau selalu bercanda andai wajahku diganti
Relakan ku pergi.. Karna tak sanggup sendiri

Namun tak kau lihat terkadang malaikat
Tak bersayap tak cemerlang tak rupawan
Namun kasih ini silakan kau adu
Malaikat juga tahu.. Aku kan jadi juaranya

Conflict Gaza


We Will Not Go Down In Gaza Tonight (Song for Gaza)

A blinding flash of white light
Lit up the sky over Gaza tonight
People running for cover
Not knowing whether they’re dead or alive

They came with their tanks and their planes
With ravaging fiery flames
And nothing remains
Just a voice rising up in the smoky haze

We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight

Women and children alike
Murdered and massacred night after night
While the so-called leaders of countries afar
Debated on who’s wrong or right

But their powerless words were in vain
And the bombs fell down like acid rain
But through the tears and the blood and the pain
You can still hear that voice through the smoky haze

We will not go down
In the night, without a fight
You can burn up our mosques and our homes and our schools
But our spirit will never die
We will not go down
In Gaza tonight

Friday, January 16, 2009

catalog

Apa yang harus aku lakukan untuk bisa merubah dunia...????
pertama ucapkan niat diawali dengan bismillah, dan akhirnya aku menulis ini semua untuk kalian yang mau peduli dengan perubahan. Semakin kita sering membantu maka semakin banyak pula bantuan yang akan datang menghampiri kita (ingatlah itu kawan....!!!)

Di dalam dunia baru kita dapat temukan berbagai fenomena yang jarang kita temui sebelumnya. penyimpangan sosial yang terjadi tidak terdapat dalam tumpukkan studi kasus dan penelitian serta riset yang dilakukan. semua guru besar tidak akan pernah bisa memberikan jawaban dan penjelasan atas gejala sosial ini. Apa sebenarnya yang membuat gejala ini begitu dahsyat dan baaimana sebenarnya gejala ini bisa ada??(selanjutnya)

Tuesday, January 13, 2009

dunia itu indah


ternyata kata kata nidji itu benar bahwa dunia itu indah... walau gak seindah surga. dimana baiknya Tuhan udah nyiptain gwe ke dunia dan berbagai hal gwe dapat di dunia. semua hal yang indah ( cinta, persahabatan dan keluarga) thank's god

semua hal gak terduga (patah hati, kegagalan, kecewa, dan semua yang bikin gwe nangis sepanjang hari sampe gk inget makan, gak bisa tidur dan bikin gwe diem.. tak seperti biasanya...

thank's mom, yang dah ngajarin gimana rasanya bersyukur dalam segala hal.
thank's dad, yang dah ngajarin gwe tegar ketika gwe rapuh.
thank's beib, dah bikin gwe ngerti cinta dan persahabatan itu bukan hanya bikin gwe belajar pertahanin apa yang gwe punya tanpa egois.

thank,s y sayang kmu dah ngajarin banyak hal ttg cinta dan bagaimana aQ bisa pertahanin rasa itu sampai nanti,dan selamanya..
i love you all