Tuesday, May 26, 2009

Kampus : Pabrik Intelektualisme-Aktivisme, Aktivisme-Intelektualisme

Kesempatan mencicipi dunia kampus adalah anugerah Tuhan yang begitu besar. Di tengah himpitan ekonomi yang melanda mayoritas bangsa, maka ada baiknya kesempatan itu difikir ulang untuk ditarik kesimpulan berharga dan bermanfaat bagi siapa saja yang ingin mengawali intelektualisme-aktivisme dari pergerakan kampus-isme. Kampus-isme adalah faham yang menyatakan bahwa tradisi intelektualisme kampus memainkan peranan penting dalam pergaulan hidup. Pandangan ini mencoba menjawab kritik bahwa kampus adalah menara gading yang makin menjauh dari realisme-empirik.

Inilah idealisme di atas idealisme anti-kampus-isme. Yang seolah menafikan urgensi dan signifikansi perkuliahan sebagai proses transformasi kesadaran intelektual untuk kehidupan yang bermanfaat di kemudian hari. Jarang masyarakat di bangsa ini yang dapat merasakan pendidikan di perguruan tinggi. Jarang menyandang status Mahasiswa. Status yang menandakan kelebihan di atas siswa biasa. Baik intelektualisme maupun aktivismenya.

Menjadi mahasiswa berarti menjadi seorang intelektual. Menjadi intelektual berarti menjadi seorang aktivis. Seminim-minimnya aktivisme, adalah intelektual (berfikir dan berbicara) dan semaksimal-maksimalnya, adalah bergerak secara emosional merebut, menggunakan dan melawan kekuasaan.

Kampus : Pabrik Intelektual-Aktivis, Aktivis-Intelektual

Bagaimana kampus dapat memproduksi intelektual-aktivis, dan aktivis intelektual? Bergantung bukan pada kampus itu sendiri. Melainkan mahasiswanya. Sebab, pendidikan kampus adalah pendidikan otonomisasi dan fasilitasi. Kampus bukanlah guru, melainkan sarana dimana pertukaran intelektual, dialog bebas terbuka dosen-mahasiswa berlangsung secara kritis. Kampus adalah tempat membaca buku-buku, mempelajari teori-teori, mendiskusikannya dengan berbagai civitas akademika, dan pada titik terakhir adalah mengujinya di wilayah empirik. Inilah tuntutan bagi semua civitas akademika, bagaimana menyinari kampus dengan teori-teori tersebut. Menghidupkan kampus dengan tradisi berfikir bebas-bertanggungjawab.

Re-thingking soal Ijazah dan Gelar Akademik sebagai Kampus-isme

Ijazah adalah kehormatan dan penghargaan yang selayaknya diberikan kepada mereka yang telah berhasil menjadi mahasiswa sejati. Mahasiswa sejati adalah mahasiswa yang telah membuktikan kapasitas dan kecakapan intelektualnya dan termanfaatkan di ruang public. Merekalah yang seharusnya mendapatkan ijazah. Bukan mereka yang ingin mencari uang dari ijazah (gelar) itu. Bukan mereka yang ingin diterima dan bisa hidup oleh dunia modern. Karena mahasiswa sejati, justru membalik diri bahwa dunia modern lah yang mau tak mau harus menerima mereka karena otentisitas, keutuhan dan kesejatiannya. Mahasiswa tak butuh ijazah dan gelar. Namun, gelar dan ijazah itulah yang harus menjemput mereka, mendekati mereka, memberi mereka. Ia tak minta diakui. Yang diakuinya hanyalah perjuangan terhadap kebenaran intelektual-aktivis. Bagaimana ia butuh kepada pabrik intelektual-aktivis, sementara dirinya sendiri sudah merupakan pabrik.

Dengan paradigma ini, upaya melanjutkan kuliah tak ada kaitannya dan bergantung dengan soal wisuda atau tidak, lulus atau tidak, bisa atau tidak. Tidak seperti itu melihatnya, melainkan dari pandangan bahwa kebenaran harus dicari sampai ketemu. Bahwa hakikat mahasiswa harus diraih, itulah motivatornya. Sehingga, kesejatian tidak tunduk oleh kata sarjana, kata wisuda, kata gelar dan kata-kata lain yang kosong. Disinilah peran kesejatian, mengisi dan mewarnai kata-kata kosong itu lebih berarti dan bermakna.

Dalam satu tulisan, Romo YB Mangun Wijaya mengatakan : “Percuma punya ribuan alumni cerdas, sementara massa rakyat dibiarkan bodoh dan tertindas, dengan segera alumni cerdas itu akan menjadi penindas baru dengan modal kecerdasannya”.

Satu kritik keras, kepada para sarjana, wisudawan, yang tak melanjutkan klaim intelektualnya ke wilayah empirisisme (pembuktian). Bukankah mereka sudah disiram oleh lagu-lagu nasionalisme (padamu negeri), pengabdian kebangsaan, dan sumpah prasetya sarjana saat wisuda. Bukankah sumpah itu tak main-main. Kalau hanya untuk formalitas, mengapa mau mereka bersumpah dengan sumpah itu, bukankah mereka dengan kelulusan intelektualitasnya dapat mengkritisi sumpah prasetya sarjana itu bilamana mereka tak kuasa menjalankannya. Siapa yang akan mempertanyakan sumpah / janji mereka itu? Bukankah janji itu utang. Problem realitas-empirik, adalah utang kaum intelektual yang harus dibayar dan akan ditagih terus menerus oleh mereka yang disebut-sebut dalam isi prasetyanya itu. Bangsa, agama, Negara, dst. Setidaknya pada taraf minimal dan dan level mikro mereka harus mengatasinya. Untuk mencicil pelunasan dan pembayaran utang tersebut.

Karena itu hakikat kampus tidak satu arti dan pemahaman melainkan banyak : pertama, kampus tempat mencari gelar dan sarjana untuk mencari penghidupan yang layak, kedua, kampus tempat agar bisa diterima dalam kehidupan modern, ketiga, kepatuhan terhadap kaderisasi birokrat-teknokratis yang digawangi oleh industri besar sehingga kampus menjadi perpanjangan kepentingan mereka saja, keempat, tempat belajar, membaca buku-buku, kajian, berdialog, berdiskusi, bertukar pikiran, gerakan dan tindakan, berdebat, berbantah-bantahan secara benar, untuk menjawab tantangan kekinian dan ke-masadepan-an. Pandangan ini dapat diadu dengan pandangan kaum birokrat-formalis sendiri. Sehingga muncul sintesa baru dalam meletakkan kembali peran kampus dalam pergaulan hidup.

Penulis memilih hakikat yang keempat. Dan akan terus memperjuangkan hal ini meskipun di sekeliling penulis, banyak jebakan dan perangkap “hakikat-hakikat” yang lain. Jebakan gelar, ijazah, sarjana, materi ekonomi, institusionalisasi, birokratisasi, teknokrasi, modernitas, yang potensial menjerumuskan kepada arogansi intelektual dan menjatuhkan kebenaran pada lubang terdalam dalam kehidupan.

Menjadi Intelektualism-Aktivism, Tak Harus Anti-Kuliah
Dengan pola pikir, seperti itu, maka kampus / perkuliahan seharusnya bukan penghambat. Melainkan tantangan? Pertanyaan? Ujian kepada kebenaran intelektualisme –aktivisme kita. Gelar akademik, ijazah, nilai-nilai formal, prosedur birokratik, kaderisasi birokratik, institusionalisasi teori-teori, bukanlah penghambat pada kemajuan mereka yang ingin meraih identitas kesejatian intelektual dalam kemahasiswaannya. Mereka yang ingin lunas memenuhi tuntutan dan permintaan menjadi the real student.

Disinilah asas kemandirian sebagaimana di sebut di awal berlaku dan menemukan signifikansinya. Mahasiswa mana yang tidak berhasil memandirikan dirinya, meng-otonom-isasi dirinya, meng-utuhkan dirinya, mem-personal-kan dirinya, memerdekakan fikiran dan tindakannya, maka ia bagaikan anjing yang berkalung gelar akademik, berpakaian toga, nilai-nilai formal, teori-teori buku, institusionalisme. Penulis menyebut “bagaikan”, sebab, ia bukanlah “anjing” sungguhan. Melainkan, setengah manusia. Akhirnya, makhluk yang merdekalah yang layak berkalung itu. Merebut kesejatian kemerdekaan diri, bukan hal mudah. Namun, harus dilanjutkan dan didiskusikan terus-menerus, bukan? Hingga tiba saatnya kemerdekaan sesungguh-sungguhnya ada di tangan dan fikiran kita?. Amiin.(Darul Qutni)


No comments:

Post a Comment

suara kampoes siap menerima cacian dan makian konstruktif dari anda semua...! terima kasih atas komentarnya...