Tuesday, May 26, 2009

Persatuan dalam Perbedaan

Allah SWT berfirman dalam Surah Ali Imran (103) :

Dan berpegang teguhlah kalian dengan tali (agama) Allah, secara keseluruhan, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hati-hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni’mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya, agar kamu mendapat petunjuk".


Khitab (objek perintah dan khabar) dari ayat di atas, menurut mufassir Imam Jalaluddin As-Suyuthi (849-911 H) adalah suku Aus dan Khazraj. Kedua suku ini di era Jahiliyah (sebelum kedatangan Islam), terkenal sebagai suku yang suka bermusuhan dan berperang. Hampir saja, mereka mati dalam kekufuran akibat gemar berperang dan bermusuhan ini.

Untungnya, ajaran Islam datang. Nabi Muhammad SAW dengan kekuatan spirit ajaran Islam yang dibawanya berhasil menjadi sabab dan wasilah Allah SWT mempersatukan dan mempersaudarakan mereka. Terhindarlah mereka dari tepi api neraka dan mereguk air nikmat persaudaraan atas dasar Islam di samping persaudaraan atas dasar kesamaan wilayah teritorial (arab).

Khitob ayat di atas memang turun untuk mengomentari dan menyikapi kebudayaan suku Aus dan Khazraj yang hidup di era Jahiliyah. Namun, jika ditarik pada konteks yang lebih umum dan luas pada kenyataan kaum Muslimin saat ini, maka kita akan temukan model Aus-Aus baru dan Khazraj-Khazraj baru di era modern saat ini. Apalagi dalam konteks kaum Muslimin di Indonesia yang terdiri dari berbagai macam dan beragam suku yang berbeda-beda, maka bahaya perpecahan, permusuhan, pertentangan juga mengancam.

Bahaya itu bukan hanya mengancam. Di sebagian daerah di Indonesia, telah nyata terjadi perang antar-suku dan ras. Meski latar belakang agama mereka Islam, nampaknya persaudaraan se-agama (ukhuwah Islamiyah) tersebut, kurang nyata dan memberi ta’tsir (bekas) dalam pergaulan sosial mereka.

Jika suku menunjuk pada pengertian kedaerahan, wilayah dan ras di mana seseorang hidup dan bertempat tinggal, maka kenyataan perbedaan kaum Muslimin tak hanya itu. Melainkan perbedaan pendapat / pandangan / aliran keagamaan (terutama pendapat / pandangan / aliran tokohnya), organisasi yang digelutinya, kedudukan sosialnya (kaya-miskin), pilihan politiknya, klub olahraga kesayangannya dan lain-lain amat potensial menjadi sumber perpecahan dan “perang saudara”, yang mengancam persatuan dan kesatuan kaum muslimin Indonesia.

Menolak dan mengingkari perbedaan, bukanlah jalan keluar. Menolak perbedaan sama saja memaksakan keinginan mengadakan satu shalat Jama’ah dengan membangun satu Masjid untuk satu bangsa dan negara saja dan membubarkan atas nama persatuan umat Islam, penyelenggaraan shalat Jama’ah di Masjid-Masjid / mushalla-mushalla kecil yang ada di daerah-daerah dan perkampungan kaum muslimin.

Membuka ruang dialog seluas-luasnya (bersikap terbuka) di tengah-tengah kaum muslimin yang berbeda-beda dan berbagai macam karakter itu, baik latar belakang suku dan rasnya, aliran keagamaannya, tokoh (elit) kesayangannya, kedudukan sosial-ekonominya, pilihan politiknya, hobby dan gaya hidupnya, klub olahraga kesayangannya, dll. tampaknya, jalan keluar terbaik yang harus terus dicoba untuk memperkuat dan mengembangkan sentimen persatuan dan persaudaraan se-agama (ukhuwah Islamiyah) dan se-aqidah dalam perbedaan-perbedaan non aqidah. Sehingga lahirlah “suku Aus dan Khazraj baru” yang berbeda dengan era sebelum datangnya Islam (jahiliyah). Bukankah persatuan dan persaudaraan kaum muslimin yang mayoritas ini akan memberikan ta’tsir (bekas) yang baik bagi moralitas kehidupan bangsa Indonesia?. Amiin ya rabbal alamiin.

1 comment:

suara kampoes siap menerima cacian dan makian konstruktif dari anda semua...! terima kasih atas komentarnya...